(Suara Karya, 1 Oktober 2011)
TERMIN realisme ini
merujuk ke konteks sastra, secara naif diartikan sebagai narasi deskripsif yang
mengungkap aspek kehidupan riil/nyata secara langsung, lugas dan cermat. Meski
sesungguhnya kenyataan obyektif tidak bisa utuh ditampilkan dan dikenali lagi
seperti apa adanya, karena yang ditampilkan di dalam teks itu kenyataan yang
telah diseleksi serta digarisbawahi kepentingan subyektif pengarang. Karena itu
lahir sastra bercorak realisme psikis, realisme subyektif (James Joyce, Frans
Kafka), atau bahkan realisme magis (Edgar Allan Poe).
Sedang terma realisme
magis merujuk ke narasi teks deskripsif yang nyata dan realistis tapi dengan
logika yang magis non-riil atau surealis penuh keajaiban hantu atau alam jin
siluman-dibedakan dengan keunikan teknologik dan alien yang bersipat sci-fic.
Pada Han Gagas, cq Tembang Tolak Bala (Pustaka Sastra LKiS, Yogakarta, Mei
2011) itu bermakna alam gaib yang merasuki seseorang ketika ia kesambet sebab
berani bermain di tempat angker. Dan karena yang angker itu ada di Ponorogo,
maka nyaris seluruh sejarah serta masa lampau Ponorogo-mitos, cerita tutur
sepihak, atau peristiwa aktual semacam pemberontakan PKI Madiun 1949 dan
G30S/PKI 1965-bisa dialami si bersangkutan dalam hitungan 35 hari saja.
Semua dioplos dalam arus
waktu mundur maju saat si tokoh kesambet, jiwanya melayang tubuhnya koma, sebab
itu meskipun bercerita tentang pelarian Majapahit yang ingin mempertahankan
Hindu dari dera dakwah Islam (Demak), tapi sebetulnya sedang mendadar misteri
gemblak di balik kesaktian warok di tradisi Reog Ponorogo. Warok bukan lagi
sekedar si pemimpin kelompok seni, tapi si jagoan yang mengamen mempertunjukkan
kesaktiannya buat menghibur rakyat, yang memimpin ritual bersih desa, dan aktif
menentang penjajah atau partisipasif berpihak pada ideologi tertentu,awal
tragedi politisasi penyebab banyak awak Reog hilang di era G30S/PKI 1965.
Meski gineakologi Reog
hanya dikaitkan ke: (1) ekspresi penghibur untuk Klana Sewandana, raja dari
Bantar Angin, yang telah tujuh tahun menikah dan tak dikaruniai anak ditinggal
istrinya, Putri Sangga Langit bertapa.Ketika Bujang Ganong, patihnya,
merekonstruksi perkelahiannya dengan Singa Barong, si pejaga perbatasan Kediri
dan Bantar Angin, di Wengker. Duel alot yang memaksa Klana Sewandana
mengeluarkan pusaka Pecut Samandiman, membunuhnya, dan dengan menenteng kepala
berujudkan singa itu melamar Putri Singa Langit, anak Erlangga, dengan diikuti
merak peliharaan Singa Barong. Seperti disimbolkan dengan tarian si yang
memakai topeng Barongan (kepala singa) dan burung merak (Dadhak Merak)
bertengger di atas kepala singa Atau (2) merupakan protes alegoris pada
Brawijaya, raja akhir Majapahit, yang mengabaikan ramalan: kehancuran Majapahit
berawal dari kengototan menikahi Putri Campa, sehingga Islam masuk istana, dan
terealisasi saat Raden Patah, murid Wali Sanga, menghancurkan Majapahit dari
dalam. Semua telah diramalkan, hingga "bisa" ditolak dengan Brawijaya
yang gagah perkasa itu tidak menikahi Putri Campa. Tetapi Brawijaya tak bisa
diingatkan meski berulang disindir dengan protes alegoris: singa (Barongan)
dikangkangi merak (Dhadhak Merak). Majapahit hancur, Brawijaya lari dan moksa
di Gunung Lawu, sedangkan komunitas Hindu terakhir bertahan di bumi Wengker,
antara Gunung Wilis dan Lawu.
Sementara pertentangan
antar warok.Islami,punya kesaktian tanpa berpantang dengan wanita dan memilih
alternatif homo seksual dengan gemblak-dan warok non-Islami,homoseks
ber-gemblak dan beristri asesorik,bermula dari pelarian Majapahit membangun
Prana Raga, dengan Ki Ageng Kutu di selatan, Ki Ageng Mirah di utara,
Honggolono di barat, Ki Gentan di timur, dan Betara Katong di tengah. Pas
komunitas terorganisasi terbentuk, Betara Katong imgim menjadikan Islam sebagai
acuan nilai, sedang Ki Ageng Kutu tetap mengukuhi Hindu. Potensi perang terbuka
ditengahi Ki Ageng Mirah dengan meminta Ki Ageng Kutu bersemedi menenangkan
diri, pergi ke Gunung Lawu dan bersua Sunan Lawu (Brawijaya), lantas mendapat
wangsit supaya berkonsultasi dengan Ki Ageng Mirah.
Pilihannya Ki Ageng
Mirah ternyata Islam-secara faktual Islam dominan.Teks novel Han Gagas-wong
Ponorogo asli-sebenarnya berkutetan pada ikon warok yang Islami dan usaha agar
Reog menjadi Islami. Lewat prosesi si Hargo kehilangan adik yang mati tenggelam
di sungai dan jadi guardian angel-nya, sampai ia kesambet dan hadir di masa Ki
Ageng Mirah. Dari alam gaib itu ia kesambet lagi sehingga hadir di masa sang
kakek, dijadikan anak temon dan sekaligus di-gemblak-ketika tersadar ia merasa
sangat berdosa karena berzinah dengan kakeknya. Sekaligus jadi saksi ketika
Teja Wulan melindung anak-anak dan istri para pelarian PKI dari Madiun tanpa
mau membela kader PKI, dan pilihan humanistik itu jadi alasan musuhnya buat
memfitnah sebagai PKI sehingga ditembak tentara di era 1965. Tapi mantra
tembang Tolak Bala, lagu ana kidung rumeweksa ing wengi, warisan Ki Ageng
Mirah, diturunkan padanya tanpa melalui ayahnya yang mati disantet.
Permusuhan sendiri
berawal dari tarung gengsi berpapasan antara Wulung Geni dengan Honggo
Dermo.Yang kalah mewariskan dendam ke Wiro Lodaya, anaknya, yang memfitnah Teja
Wulan, anak Honggo Dermo sebagai antek PKI, sedang Marto Dirojo, anaknya Wiro
Lodaya, menyantet ayah Hargo sampai mati, dan tidak sengaja mensodomi Hargo
ketika bermalam usai belajar bersama. Hargo yang tidak berdaya menyenandungkan
ilmu warisan Ki Ageng Mirah, dan Tembang Tolak itu membuat Marto Dirojo merasa
bersalah dan di seumur hidup dihantui dosa. Anak tunggal Marto Dirojo,
perempuan yang aktif bermain jathil reog malah kepincut Hargo. Merekapun
menikah, punya anak kembar dan mengembang Reog Islami di sekitar Telaga Ngebel.
Dan itu mungkin muara Reog Ponorogo: Islami, tanpa warok sakti dan gemblak,melulu
satu ekspresi seni yang dikemas untuk jualan parawisata. ***
* BENI SETIA, pengarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar