Senin, 19 Februari 2018

Novel Terbaru "Orang-orang Gila (Buku Mojok, 2018)


Dulu kita mengenal sastrawan seperti Iwan Simatupang dan Putu Wijaya yg banyak menggarap bahan seperti ini. Tantangannya tidak mudah. Tapi ada jenis pembaca tertentu yg menyukai gagrak tersebut, sehingga @bukumojok merasa perlu untuk menerbitkan novel anggitan Han Gagas ini.
Han adalah salah satu sastrawan yg lekat sekali dengan tema 'kegilaan'. Salah satu kelebihan Han, menurut saya, memiliki ketrampilan dan ketahanan mengolah bahan 'pikiran dalam' manusia, dengan rapi dan terjaga. Ibarat mobil, perpindahan giginya halus sekalipun sedang melalui medan yg curam. Satu lagi terbitan Buku Mojok untuk pembaca Sastra Indonesia (Puthut Ea) 

Minggu, 26 Maret 2017

Wayang Potehi: Cinta yang Pupus

Cerpen Han Gagas
"Kompas" Minggu 24 Januari 2016

Ketika dalang memasukkan tangannya ke dalam kantong dan mulai menggerakkan boneka wayang, gembreng dan tambur dipukul diiringi gesekan rebab yang melengking menyayat telinga, saat itu mataku menangkap wajahmu di antara jejalan penonton.

JANTUNGKU berdegup kencang. Wajahmu berkilau dalam siluet cahaya oranye lampu panggung. Kecantikanmu yang memancar bagai berlian menghisapku begitu dalam. Rambutmu masih seperti dulu tergerai indah di bahu. Aku tak dapat melepaskan pandanganku darimu.

Suara terompet melengking tinggi. Suling menusuk gendang telinga meramaikan iringan. Lakon yang mengangkat novel See Yu Ki, Journey to The West, telah dibuka. Tokoh kera sakti bergerak lincah, meloncat ke sana-kemari. Bunyi ”trok-trok” dari Piak-kou membuat suasana jadi meriah.

Penonton bertepuk tangan.

***
Suara yang mirip ”trok-trok” dari Piak-kou selalu kita tunggu. Adalah bunyi kentongan kecil dari penjual bakmi keliling yang selalu lewat di depan kos kita, sehabis Isya. Sepulang dari shalat berjamaah di masjid samping kosmu aku duduk di beranda, menunggu kedatangannya. Dan kau selalu melakukan hal sama, membaca buku sambil menunggu.

Aku masih bersarung dan berpeci. Tak mau ganti baju, takut keburu penjual bakmi itu pergi. Masakannya yang lezat dan pedas, sayang untuk dilewatkan. Kau sendiri matamu selalu tak lepas dari bacaan itu. Menunduk membaca khusyuk. Dan saat terdengar bunyi ”trok-trok”, kau baru mengangkat kepala. Sinar lampu beranda kosmu menyirami wajahmu, guyurannya bagai sinar mentari yang menembus hujan, membuat parasmu berkilau bagai berlian.

Jantungku berdetak kencang sekali.

Kau melangkah ke depan. Sudah terlalu sering aku menahan keberanian, menunggumu selesai dimasakkan dulu. Tapi kali ini aku sudah tak tahan. Aku ingin berkenalan denganmu!

Aku lihat langkahmu jadi ragu saat aku melangkah ke luar pagar. Gerobak bakmi hampir sampai di depan kita. Tanganmu telah menyentuh pintu pagar tapi lantas terdiam. Kau menunggu di halaman. Aku menelan ludah. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.

Esoknya aku bersiasat. Aku menunggumu lebih dulu. Saat kau menanti bakmi pesananmu matang, aku melangkah cepat mendekat walau dengan dada berdebar tak karuan.

Penjual bakmi tersenyum. Senyum yang tak biasa. Agaknya dia tahu aku menyukaimu. Aku tak peduli, yang jelas senyum lebarnya telah melumerkan kekakuanku yang mencoba tersenyum padamu. Akhirnya, kau regangkan bibirmu, yang merekah bagai kelopak mawar yang indah. Jantungku terasa hendak copot!

Wajah cantikmu makin berkilau olehcahaya merkuri yang menunduk di tepi jalan. Lampu itu sebagai saksi, selain penjual bakmi, untuk pertama kalinya kita saling bertatapan. Sinar matamu memancarkan keajaiban, aku merasakan energi matahari yang membuatku merasa hidup, merasa bahagia. Hatiku jadi hangat, penuh suka cita.

Untuk pertama kalinya aku melihat wajahmu dari begitu dekat. Kau berdiri di samping penjual itu, jadi hanya sejengkal saja jarak antara kita. Matamu yang sipit tampak berkejora saat kita bersitatap, seperti ada kerlip cahaya cinta di sana, cinta sejati yang mengatasi segala perbedaan. Apakah aku sedang bermimpi?

Kita, aku maksudku, harusnya berterima kasih pada penjual itu yang segera memecah perasaan canggung kita dengan banyak berseloroh, bersiul, dan bernyanyi ceria:

Inikah namanya cinta/Inikah cinta/Cinta pada jumpa pertama/Inikah rasanya cinta/Inikah cinta/Terasa bahagia saat jumpa/Dengan dirinya//

Tawa penjual itu pecah, memancing rasa jenaka di hatimu. Aku melihat bibirmu makin terbuka lebar memerlihatkan gigi-gigimu yang kecil-kecil bagai biji mentimun. Rasanya aku terbang ke surga karena mabuk oleh cinta, mabuk kebahagiaan.

”Ayo pada kenalan. Sudah pada kenal belum? Jangan malu-malu.” Tawaran penjual itu mengejutkanku. Aku jadi yakin dia tahu aku menyukaimu.

”Ayolah, kalian sudah besar-besar....” Nada suaranya jadi lucu, seperti merengek, seperti meledek, aksen Sunda yang bercampur Tionghoa.

Aku melirikmu. Kau menundukkan kepala sambil memain-mainkan ujung kaki. Wajahku terasa panas.

”Idiiih nggak perlu malu di jaman sekarang....” Aksen Tionghoa yang dibuat-buat itu makin lucu, memancing tawaku, mencairkan kebekuan nyaliku. Tak sepenuhnya sadar aku mengulurkan tangan. Saat melihatmu terdiam, aku tersentak sadar, dan ingin menarik tanganku lagi.

Tapi kuurungkan. Aku tak mau benar-benar malu di depanmu.

”Kalau tak kenalan, aku tak masak buat kalian ya!” Serunya dengan wajah separuh cengengesan.

Kami terdiam sejenak. Tanganku masih menggantung di depanmu, lalu kau pelan mengulurkan tangan. Ancaman bapak itu rupanya telah berhasil.

”Joko,” kataku dengan lidah kelu, ”Joko Sudiro...” tambahku sambil menyambut uluranmu.

”Mei Wang.” Suaramu terdengar begitu merdu, seperti gesekan biola saat tengah malam.

”Hore! Hahaha.” Tawa penjual meledak. Rasanya tak ada kesedihan di dunia ini jika melihatnya sedang tertawa.

Sehabis kenalan, semalam suntuk aku tak tidur. Perasaanku terasa hangat oleh baramu yang nyalanya abadi. Bayangkan, telah kuimpikan hal ini ribuan kali, dan akhirnya bisa terwujud. Rasanya aku telah terberkati, telah teranugerahi. Buku tulisku penuh dengan namamu. Baris demi baris, halaman demi halaman kutulis namamu sambil mengenang saat kita kenalan.

Wajah berlianmu yang tersirami cahaya oranye merkuri melekat kuat di benakku. Malam itu kulewati dengan perasaan bahagia seolah perkenalan itu menyatu dalam nyawaku. Hingga pagi menjelang, matahari telah memekarkan hatiku. Kubuka korden jendela dengan semangat pagi yang luar biasa. Aku menatapmu pergi bersama teman-temanmu ke gereja. Pagi ini ada yang beda dibanding pagi-pagi sebelumnya: aku telah mengenalmu!

”Dia pasti membuka jendela buatmu, hahaha.” Suara ledekan dari temanmu selalu membuatku malu.

”Ayolah kalian sudah kenal kan semalam,” kata temanmu yang satu lagi. Dia melirik ke arah kamarku dengan pandangan usil menggoda.

”Setiap kita berangkat dia selalu membuka jendela. Jendela hatinya buatmu, hahaha.” Tawa mereka meledak.

Kau diam saja, namun aku bisa melihat ada senyum terukir di bibirmu. Jantungku kembali berdebaran.

Malamnya, aku memberanikan diri menemuimu. Jantungku berdetak kencang saat mengetuk pintu. Dari jendela yang sedikit terbuka kulihat ada wayang golek di kamarmu.

Kau menemuiku dengan gaun panjang yang memesona. Keanggunanmu bagai peri dalam khayalan. Kecantikanmu membuatku gugup luar biasa. Kita duduk di meja beranda, diam membisu begitu lama. Saling menundukkan wajah. Tanganku tak sepenuhnya sadar mengucek-ucek taplak kain meja.

”Wayang golek?” justru itulah kata pertama yang keluar dari mulutku.

”Apa?”

”Di kamarmu.” Bodoh benar aku, telah ketahuan mengintip isi kamarmu.

Kau diam.

”Maaf...” kataku pelan.

”Bukan. Itu Wayang Potehi.”

”Potehi? Aku belum pernah melihat pertunjukannya.”

”Dilarang.”

”Dilarang?”

Kau mengangguk. Aku tahu ini pasti ada hubungannya dengan rezim jahat itu. Sebagai wartawan pers mahasiswa aku tahu soal diskriminasi, dan akan kutulis artikel tentang ini. Aku juga dekat dengan para aktivis pro demokrasi.

Entah masuk akal atau tidak, lusanya, setelah artikel itu tayang, saat aku hendak menunjukkannya padamu, tiba-tiba datang sebuah mobil yang menurunkan sekelompok lelaki bertubuh tegap yang langsung menyergapku!

Malam itu aku diinterogasi dengan tangan terikat. Jari-jari kakiku remuk ditindih kaki meja. Lenganku terbakar disudut api rokok. Setiap siuman pertanyaan datang dan selalu sama, ”Mana Thukul?! Mana Thukul?! Mana Wiji Thukul?!”

Aku menggeleng lemah, dan itu artinya bibirku makin pecah berdarah. Mataku terasa bengkak, nyeri, dan perih.

Untuk mengurangi rasa sakit aku selalu membayangkan wajahmu, dan menyebut lirih namamu, ”Mei Wang....” Wajahmu yang berkilau dan binar matamu meredam rasa sakit yang merajam seluruh tubuhku.

Setelah puas, aku dibawa mereka pergi.

”Otakmu kiri, kau pantas mati!”

Ancaman itu menggema di jiwaku. Suaranya seperti ribuan Malaikat Izrail yang hendak mencabut nyawaku. Nyaliku gemetar, rasanya tak ada lagi kehidupan yang membentang di hadapanku. Hatiku menggigil, sepanjang jalan. Tiba-tiba mobil berhenti. Di sebuah jembatan. Aku dikeluarkan dengan tangan masih terikat, dan diceburkan ke sungai yang penuh air.

Aku ingat. Aku ingat betul. Aku telah menyerah waktu itu.

Tapi Tuhan menyelamatkanku lewat tangan seorang pemancing. Darinya aku cukup dirawat, dan setelah membaik aku menengok kos, tentu bermaksud menemuimu.

”Beberapa lelaki mengusirnya pergi,” kata penjual bakmi.

Nada suaranya terdengar sedih. Cinta sejati yang mengatasi segala perbedaan, agama dan etnis, hancur oleh bengisnya kekuasaan yang daya bunuhnya sampai ke jantung perasaan.

Untungnya, tak sampai sebulan rezim itu tumbang. Tak akan ada orang yang menangkapku lagi. Tak akan ada orang yang mengusirmu lagi.

Aku mulai mencarimu, mencarimu ke mana saja. Cinta sejati tak memikirkan diri sendiri. Berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun aku menggelandang seperti orang gila. Bertanya ke sana kemari, dan pada akhirnya menyerah pada kenyataan: kau tak mungkin bisa ditemukan.

Dengan perasaan kalah, aku membeli wayang potehi di Kampung Pecinan. Katanya dia adalah tokoh Sin Jin Kui yang diadopsi jadi Joko Sudiro dalam lakon ketoprak. Aku membelinya karena namanya sama denganku, dan kuyakin kau pun tahu tokoh ini. Memiliki wayang potehi mengekalkan ingatanku padamu, menumbuhkan harapan yang telah pupus.

Hingga malam ini, saat akan ada pertunjukan wayang potehi, hatiku bergetar. Aku sengaja datang, berharap untuk terakhir kalinya bisa bertemu denganmu.

Aku percaya semua ini telah ditakdirkan. Tuhan memberkatiku dengan memerlihatkan berlianku. Masih tak percaya aku terus menatapmu. Dan jantungku berdebaran saat kau menyadari kehadiranku. Mata kita bersirobok. Tiba-tiba wajahmu yang berkilau tampak terbakar, air mukamu berubah pucat, seperti orang mati. Air mata jatuh dari sudut matamu, berwarna merah.

Tubuhku bergetar hebat!


[]

Suara-suara yang Mengejek

Cerpen Han Gagas
Kedaulatan Rakyat, 26 Maret 2017

Dalam bukunya yang berjudul Menembus Kematian, Dr. Fransiska menyarankan kepada kami untuk mampu melawan delusi dan halusinasi dengan mengatakan tidak secara keras-keras.
            Aku juga melakukannya, untuk suara anak kecil yang kerap mengembuskan napasnya hingga terasa di telingaku, aku berhasil membungkamnya. Namun untuk mereka, para lelaki jahanam itu, aku tak sanggup, suara mereka terdengar lebih lantang, rasanya seperti ikut dimuntahkan oleh seluruh benda di sekitarku.
            Aku coba meredamnya dengan headset mendengarkan lagu Coldplay atau Green Day, dua band rock kesukaanku, dan memutar volumenya keras-keras. Aku tak peduli pada akibatnya yakni jadi berasa tuli. Tapi usaha itu tak selalu berhasil karena sosok mereka yang jahanam itu hadir tak cuma lewat suara tapi juga bayangan. Untuk perlindungan diri, seketika aku memejam yang seringkali terlambat, mereka kadung menghunjam dalam ingatanku, membuatku terjepit, rasanya tak kuat, dan aku berlari, terus berlari, hingga jauh, hingga tak tahu lagi aku berada di mana, sampai siksaan itu mereda.
            Aku berlari sembari menangis.
Kali terakhir saat kutersadar, ternyata aku di dalam kelenteng Tien Kok Sie, suara lonceng angin yang dipasang di empat sudut bergemerincing, genta di sisi kanan dan tambur di sisi kiri ruangan yang bergantungan di langit-langit berdentang dan bertabuh menghancurkan suara-suara jahanam itu. Aku rasa, mereka tak berani masuk ke tempat suci di mana para dewa bersemayam. Penglihatanku berangsur normal lagi.
            Hanya, aku sempat melihat anak kecil itu yang mengaku bernama Maya melambaikan tangan di sebalik jendela kelenteng, wajahnya pucat seperti mayat, bibir dan pipinya membiru lebam. Matanya, aku ngeri sekaligus sedih karena tampak juling dan berkaca-kaca. Baju atasannya yang putih ternoda merah basah seperti tersimbah darah. Tangannya terangkat seperti minta tolong. Hatiku ragu, dan tiba-tiba dari arah belakangnya datang serombongan para lelaki, seperti geng kriminal yang bertampang bengis, seorang diantaranya mengayunkan kapak ke lehernya.
Aku tak kuat melihat. Kupejamkan mata!
***
Aku terbangun di sebuah dipan dalam ruangan bersih. Bau kamper bercampur obat-obatan tercium hidungku. Tak ada siapapun di ruangan ini. Aku hendak bangun, namun kedua tangan dan kakiku terikat!
“Tenanglah, tak ada lagi yang akan mengganggumu....” Suara lembut dari perempuan berpakaian putih mirip suster mendatangiku. Aku tak tahu dari mana datangnya, ia seakan hadir begitu saja di sampingku. Wajahnya bundar, cantik, dengan bibir tipis bagai kelopak mawar merah, ranum. Di hemnya ada pin nama: Mei Wang.
“Di manakah saya?”
“Di Panti Rehabilitasi.”
“Kenapa tangan dan kakiku diikat?”
“Oh, nanti aku akan bilang ke suster kepala untuk melepaskanmu, jika tenang kau akan dibebaskan...”
Dia menyuntik lenganku. Rasanya seperti digigit serangga. Saat aku memikirkan jenis serangga tertentu, pandanganku mulai kabur, Wang tampak seperti bayangan, dan sebelum sosoknya membuka pintu hendak keluar, aku merasa sangat mengantuk.
Entah berapa lama aku tertidur. Begitu bangun tubuhku terasa kaku semua. Aku sudah bebas. Di ruangan ini aku tak lagi sendiri. Ada sepuluh dipan dengan sepuluh orang di atasnya, lima di samping kanan dan lima di kiriku, kebanyakan terlelap. Suara dengkuran halus terdengar.
Cahaya dari ventilasi yang ada di atas pintu membuatku silau, aku spontan menolehkan kepala. Di sana tampak Wang duduk mencatat sesuatu di atas meja. Ada tiga wanita di dekatnya dengan baju serupa.
Aku mencoba bangun. Kakiku terasa ngilu, tapi kupaksa melangkah.
Mereka melihatku, dan Wang tersenyum ramah.
“Sudah bangun rupanya, pelan-pelan....” ucapnya dari kejauhan.
Aku mencoba tersenyum tapi bibirku terasa sangat kaku. Mungkin karena kekakuan ini senyumku lebih tampak seperti seringai, tiga perawat teman Wang tampak jijik padaku. Aku tak peduli, dan melangkah ke depan, melihat-lihat ruangan.
Pintu bangsal berjeruji besi dan digembok rantai. Dipan paling ujung seseorang terlihat bangun. Tampangnya kisut, rambut awut-awutan, dia tertawa tiba-tiba, mengagetkanku.
            Hening pecah seketika.
            Akibat tawa kerasnya, dua pasien lain bangun. Mata mereka sayu dan berair. Seakan belum sadar atas apa yang telah membuat mereka bangun, mereka duduk di atas dipan memerhatikan tingkah polah pasien yang kisut itu yang kini ngedumel, nyerocos tak jelas.
            Ia kini lari-lari, memutari ruangan, dan tiba-tiba menyibak tirai jendela, aku kaget, di balik jendela itu Maya si anak kecil menatapku tajam! Wajahnya makin pucat, dan kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah.
            “Kenapa engkau tak menolongku....” katanya.   
            Kututup mataku dengan kedua tangan. Dan mencoba melihatnya dari sela-sela jari. Dia tak ada! Aku lega. Aku melangkah ke dipanku, hendak rebahan, namun baru selangkah, terdengar tawa cekikikan dari luar, tawa para lelaki jahanam. Suaranya begitu keras, seakan seluruh dinding ikut memantulkan suaranya. Kututup telingaku dengan kedua tangan, dan berteriak kencang, “Tidaaaaakk!!!”
            Dua suster menangkap tubuhku, dan Wang menyuntik lenganku dengan cepat. Aku jadi lemas sekali.
            Begitu sadar, aku ada di atas dipan, buku karya Dr. Fansiska tergeletak di dadaku. Aku membukanya perlahan, mataku berkedut, kubaca Bab Membunuh Kematian, aku ingin membunuh mereka para jahanam itu yang arwahnya penasaran. Ajaran kedua dari buku itu setelah berkata tidak dengan keras-keras adalah: tertawa, maka aku langsung tertawa mencobanya, “Ha-ha-ha.”
            Kata buku itu: tawa membuat manusia jadi bebas, jadi merdeka, tawa juga menekan mereka, suara-suara yang mengejek itu!

[]

Minggu, 09 Oktober 2016

Apresiasi dari Kompas, 9 Juli 2016

Han Gagas termasuk pengarang yang amat terobsesi pada orang gila, nyaris selalu meletakkan sudut pandang kisahannya pada orang-orang yang tak waras...”

Harian Kompas

Bersama Joko Pinurbo dan Putu Fajar Arcana


Di suatu siang bersama Jokpin dan Bli Can di Pelataran berlatar Candi Borobudur yang memesona. Berlanjut bersama Jokpin hingga malam sampai dini hari ditambah Emak Oke Rusmini, F. Azis Manna dan Norman Erikson. Sayang, n lupa, n mungkin pula tak perlu tanpa dokumentasi. Lain waktu moga bisa ngobrol lagi.