Selasa, 03 Maret 2015


Humanisme Cerpen Han Gagas

Oleh Teguh Afandi (Singgalang, 1 Maret 2015)


Foto diambil Naqiyyah Syam
Usai membaca buku “Catatan Orang Gila” milik Han Gagas, ingatan kita akan terbawa pada slogan Seno Gumira Ajidarma bahwa ketika jurnalisme terbungkam, sastra bicara. Han Gagas mengisahkan orang-orang yang termarginalkan. Kehadiran kumpulan cerpen ini seolah mengembalikan fungsi sastra yang menyuarakan humanisme dan antitesis atas maraknya cerpen-cerpen Indonesia dewasa ini yang lebih mirip curahan hati penulis, narsistik, dan gejolak asmara belaka.
Buku ini menggambarkan masyarakat lapisan bawah yang dipotret penulis melalui kerangka cerpen yang tidak seberapa panjang. Mereka yang tidak pernah dipandang serius oleh masyarakat bisa menjadi raja dalam buku ini. Determinasi gila dan waras sejatinya hanyalah bentukan orang waras. Maka sangat mungkin dalam benak orang gila, orang waras justru masuk dalam kategori gila. Sehingga akan muncul ambigu, sebenarnya siapa yang gila. Mereka yang dekil, gimbal, tidak berpakaian, dan menceracau sepanjang jalan. Ataukah mereka yang berdasi, berposisi tinggi, bertitleadiluhung yang suka menyiksa sesama dan menghalalkan segala cara?
Di cerpen “Orang Gila” pembaca ditampar oleh logika orang gila, Katanya aku gila karena tubuhku yang menjijikan dengan rambut gimbal sebahu, celana kumal robek bau apak, dada telanjang penuh daki, meracau sepanjang jalan, dan tertawa-tawa sendirian. Padahal menurutku, aku sama sekali tidak gila. (hal.5)
Bahkan di cerpen tersebut, narator yang dianggap orang gila oleh khalayak justru lebih menghormati anjing liar ketimbang manusia. Manusia yang mengaku waras, justru tidak berlaku sopan sesama manusia. Jangankan dikasihani, diuluri recehan, kebanyakan ditoleh saja tidak (hal.7). Sebaliknya seekor anjing selalu menyisihkan sisa makanan saat si orang gila datang ke tumpukan sampah.
Tekanan Luar
Kondisi ganjil yang dialami tokoh-tokoh dalam cerpen ini hampir semua disebabkan karena peristiwa besar yang mengoyak nalar dan membuat depresi. Kekuatan mahabesar dari luar menekan mereka yang menjadi korban dan menyisakan sembilu menahun. Korban-korban dalam buku ini menderita secara psikologis.
Kekuatan pertama yang membuat banyak tokoh menjadi gila adalah gejolak politik yang melibatkan kaum berseragam. Dua peristiwa sejarah yang disinggung adalah peristiwa 1965 dan kerusuhan 1998. Simbol-simbol yang mengingatkan kita pada peristiwa berdarah 1965 berserakan di beberapa cerpen. Di cerpen “Bangunan Itu Menelan Ibu dan Bulanku” ada celurit atau arit tak boleh ada dalam mulut kita. Nanti kita bakal dikira komunis (hal.36). Atau kabar terbunuhnya para jenderal di Jakarta itu menyulut bara api hingga di pelosok desa ini (hal.43) yang membuat Eyang Warok, seniman reog menjadi korban pembersihan PKI.
Ada juga seorang ibu yang terus mengenang putrinya yang menjadi korban kerusuhan 98 dan terus menaburkan bunga (cerpen “Ibu Itu Kembali Menaburkan Bunga”). Polisi juga memiliki peran untuk menciptakan tekanan psikologis dalam cerpen “Kematian Wirobogel” , “Si Gila”, dan “Topeng Satpol PP”.
Kekuatan selanjutnya adalah peliknya ekonomi. Seorang menjadi gila karena menjamurnya swalayan (Si Gila), kegelisahan burung karena alih fungsi lahan (Perjalanan Sepasang Burung Gereja), gerundelan si gembel (Dialog Si Gembel dan Pohon Mangga), atau kisah pengemis (Tuhan Melimpahi Kejeniusan pada Iblis).
Ada juga keganjilan yang bersumber dari persoalan individu. Misal Redi Kelud yang autis, gila lantaran putus cinta, atau kegilaan karena pelecehan seksual.
Cara Mencatat
Selain pilihan tema humanisme dan pembelaan pada kaum marginal, Han Gagas jelas memiliki ketelatenan dalam mencatat. Ketelatenan ini dapat terlihat dari bagaimana ketenangan dalam bercerita. Seperti di cerpen “Antara Rumah dan Kebun” penulis mendiskripsikan suasana rumah di kala malam dengan tenang. Sehingga suasana malam terasa semakin syahdu. Tenang dan romantis juga dirasakan ketika membaca cerpen “Perjalanan Sepasang Burung Gereja”.
Kesabaran dan ketelatenan penulis dalam mencatat semua kisah juga tampak dari bagaimana bahasa yang dipergunakan tidak neko-neko dan tidak berusaha membelokkan cerita hingga menjadi kejutan bagi pembaca. Penulis mengerti bahwa cerpen memiliki batasan yang tidak begitu panjang. Sehingga tidak dibutuhkan liukan-liukan dalam bercerita. Alur dan tokoh bergerak sedemikian tenang dan menghunjam di pikiran pembaca. Yang dibutuhkan pembaca adalah beberan kisah dan tragisnya korban yang menjadi fokus penceritaan.
Kehidupan wong cilik semakin terasa oleh pembaca ketika dipergunakan point of view orang pertama. Sehingga ketika tokoh ngedumel, maka pembaca secara langsung terlibat. Mungkin ini adalah salah satu cara mendekatkan pembaca dengan konflik wong cilik yang bisa jadi adalah dunia yang sangat jauh dengan pembaca. Mau tidak mau, antara pengarang/pembaca dan tokoh dalam cerpen terdapat jarak tingkat keterpelajaran, strata sosial, background ekonomi, dan wawasan pergaulannya yang luas. Pada posisi ini Han Gagas sudah berhasil memasukkan penghayatan dan pembaca akan tersentuh.
Hingga opini kita sedikit bergeser ketika melihat orang gila, gembel, pengemis, gelandangan di pinggir jalan. Bagi mereka dunianya tak kalah gelap. Tapi dalam kegelapan, mereka masih bisa merasakan cahaya Tuhan. (*)
Identitas Buku:
Judul           : CATATAN ORANG GILA
Penulis        : Han Gagas
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan      : Oktober 2014
Halaman    : 184 halaman
ISBN           : 978-602-03-0904-0