Cerpen Han Gagas
"Kompas" Minggu 24 Januari 2016
Ketika dalang memasukkan
tangannya ke dalam kantong dan mulai menggerakkan boneka wayang, gembreng dan
tambur dipukul diiringi gesekan rebab yang melengking menyayat telinga, saat
itu mataku menangkap wajahmu di antara jejalan penonton.
JANTUNGKU berdegup kencang.
Wajahmu berkilau dalam siluet cahaya oranye lampu panggung. Kecantikanmu yang
memancar bagai berlian menghisapku begitu dalam. Rambutmu masih seperti dulu
tergerai indah di bahu. Aku tak dapat melepaskan pandanganku darimu.
Suara terompet melengking
tinggi. Suling menusuk gendang telinga meramaikan iringan. Lakon yang
mengangkat novel See Yu Ki, Journey to The West,
telah dibuka. Tokoh kera sakti bergerak lincah, meloncat ke sana-kemari. Bunyi
”trok-trok” dari Piak-kou membuat suasana jadi meriah.
Penonton bertepuk tangan.
***
Suara yang mirip
”trok-trok” dari Piak-kou selalu kita tunggu. Adalah bunyi kentongan kecil dari
penjual bakmi keliling yang selalu lewat di depan kos kita, sehabis Isya.
Sepulang dari shalat berjamaah di masjid samping kosmu aku duduk di beranda,
menunggu kedatangannya. Dan kau selalu melakukan hal sama, membaca buku sambil
menunggu.
Aku masih bersarung dan
berpeci. Tak mau ganti baju, takut keburu penjual bakmi itu pergi. Masakannya
yang lezat dan pedas, sayang untuk dilewatkan. Kau sendiri matamu selalu tak
lepas dari bacaan itu. Menunduk membaca khusyuk. Dan saat terdengar bunyi
”trok-trok”, kau baru mengangkat kepala. Sinar lampu beranda kosmu menyirami
wajahmu, guyurannya bagai sinar mentari yang menembus hujan, membuat parasmu
berkilau bagai berlian.
Jantungku berdetak
kencang sekali.
Kau melangkah ke depan.
Sudah terlalu sering aku menahan keberanian, menunggumu selesai dimasakkan
dulu. Tapi kali ini aku sudah tak tahan. Aku ingin berkenalan denganmu!
Aku lihat langkahmu jadi
ragu saat aku melangkah ke luar pagar. Gerobak bakmi hampir sampai di depan
kita. Tanganmu telah menyentuh pintu pagar tapi lantas terdiam. Kau menunggu di
halaman. Aku menelan ludah. Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.
Esoknya aku bersiasat.
Aku menunggumu lebih dulu. Saat kau menanti bakmi pesananmu matang, aku
melangkah cepat mendekat walau dengan dada berdebar tak karuan.
Penjual bakmi tersenyum.
Senyum yang tak biasa. Agaknya dia tahu aku menyukaimu. Aku tak peduli, yang
jelas senyum lebarnya telah melumerkan kekakuanku yang mencoba tersenyum
padamu. Akhirnya, kau regangkan bibirmu, yang merekah bagai kelopak mawar yang
indah. Jantungku terasa hendak copot!
Wajah cantikmu makin
berkilau olehcahaya merkuri yang menunduk di tepi jalan. Lampu itu
sebagai saksi, selain penjual bakmi, untuk pertama kalinya kita saling bertatapan.
Sinar matamu memancarkan keajaiban, aku merasakan energi matahari yang
membuatku merasa hidup, merasa bahagia. Hatiku jadi hangat, penuh suka cita.
Untuk pertama kalinya aku
melihat wajahmu dari begitu dekat. Kau berdiri di samping penjual itu, jadi
hanya sejengkal saja jarak antara kita. Matamu yang sipit tampak berkejora saat
kita bersitatap, seperti ada kerlip cahaya cinta di sana, cinta sejati yang
mengatasi segala perbedaan. Apakah aku sedang bermimpi?
Kita, aku maksudku,
harusnya berterima kasih pada penjual itu yang segera memecah perasaan canggung
kita dengan banyak berseloroh, bersiul, dan bernyanyi ceria:
Inikah namanya
cinta/Inikah cinta/Cinta pada jumpa pertama/Inikah rasanya cinta/Inikah
cinta/Terasa bahagia saat jumpa/Dengan dirinya//
Tawa penjual itu pecah,
memancing rasa jenaka di hatimu. Aku melihat bibirmu makin terbuka lebar
memerlihatkan gigi-gigimu yang kecil-kecil bagai biji mentimun. Rasanya aku
terbang ke surga karena mabuk oleh cinta, mabuk kebahagiaan.
”Ayo pada kenalan. Sudah
pada kenal belum? Jangan malu-malu.” Tawaran penjual itu mengejutkanku. Aku
jadi yakin dia tahu aku menyukaimu.
”Ayolah, kalian sudah
besar-besar....” Nada suaranya jadi lucu, seperti merengek, seperti meledek,
aksen Sunda yang bercampur Tionghoa.
Aku melirikmu. Kau
menundukkan kepala sambil memain-mainkan ujung kaki. Wajahku terasa panas.
”Idiiih nggak perlu malu
di jaman sekarang....” Aksen Tionghoa yang dibuat-buat itu makin lucu,
memancing tawaku, mencairkan kebekuan nyaliku. Tak sepenuhnya sadar aku
mengulurkan tangan. Saat melihatmu terdiam, aku tersentak sadar, dan ingin
menarik tanganku lagi.
Tapi kuurungkan. Aku tak
mau benar-benar malu di depanmu.
”Kalau tak kenalan, aku
tak masak buat kalian ya!” Serunya dengan wajah separuh cengengesan.
Kami terdiam sejenak.
Tanganku masih menggantung di depanmu, lalu kau pelan mengulurkan tangan.
Ancaman bapak itu rupanya telah berhasil.
”Joko,” kataku dengan
lidah kelu, ”Joko Sudiro...” tambahku sambil menyambut uluranmu.
”Mei Wang.” Suaramu
terdengar begitu merdu, seperti gesekan biola saat tengah malam.
”Hore! Hahaha.” Tawa
penjual meledak. Rasanya tak ada kesedihan di dunia ini jika melihatnya sedang
tertawa.
Sehabis kenalan, semalam
suntuk aku tak tidur. Perasaanku terasa hangat oleh baramu yang nyalanya abadi.
Bayangkan, telah kuimpikan hal ini ribuan kali, dan akhirnya bisa terwujud.
Rasanya aku telah terberkati, telah teranugerahi. Buku tulisku penuh dengan namamu. Baris demi baris,
halaman demi halaman kutulis namamu sambil mengenang saat kita kenalan.
Wajah berlianmu yang
tersirami cahaya oranye merkuri melekat kuat di benakku. Malam itu kulewati
dengan perasaan bahagia seolah perkenalan itu menyatu dalam nyawaku. Hingga
pagi menjelang, matahari telah memekarkan hatiku. Kubuka korden jendela dengan
semangat pagi yang luar biasa. Aku menatapmu pergi bersama teman-temanmu ke
gereja. Pagi ini ada yang beda dibanding pagi-pagi sebelumnya: aku telah
mengenalmu!
”Dia pasti membuka
jendela buatmu, hahaha.” Suara ledekan dari temanmu selalu membuatku malu.
”Ayolah kalian sudah
kenal kan semalam,” kata temanmu yang satu lagi. Dia melirik ke arah kamarku
dengan pandangan usil menggoda.
”Setiap kita berangkat
dia selalu membuka jendela. Jendela hatinya buatmu, hahaha.” Tawa mereka
meledak.
Kau diam saja, namun aku
bisa melihat ada senyum terukir di bibirmu. Jantungku kembali berdebaran.
Malamnya, aku
memberanikan diri menemuimu. Jantungku berdetak kencang saat mengetuk pintu.
Dari jendela yang sedikit terbuka kulihat ada wayang golek di kamarmu.
Kau menemuiku dengan gaun
panjang yang memesona. Keanggunanmu bagai peri dalam khayalan. Kecantikanmu
membuatku gugup luar biasa. Kita duduk di meja beranda, diam membisu begitu
lama. Saling menundukkan wajah. Tanganku tak sepenuhnya sadar mengucek-ucek taplak kain
meja.
”Wayang golek?” justru
itulah kata pertama yang keluar dari mulutku.
”Apa?”
”Di kamarmu.” Bodoh benar
aku, telah ketahuan mengintip isi kamarmu.
Kau diam.
”Maaf...” kataku pelan.
”Bukan. Itu Wayang
Potehi.”
”Potehi? Aku belum pernah
melihat pertunjukannya.”
”Dilarang.”
”Dilarang?”
Kau mengangguk. Aku tahu
ini pasti ada hubungannya dengan rezim jahat itu. Sebagai wartawan pers
mahasiswa aku tahu soal diskriminasi, dan akan kutulis artikel tentang ini. Aku
juga dekat dengan para aktivis pro demokrasi.
Entah masuk akal atau
tidak, lusanya, setelah artikel itu tayang, saat aku hendak menunjukkannya
padamu, tiba-tiba datang sebuah mobil yang menurunkan sekelompok lelaki
bertubuh tegap yang langsung menyergapku!
Malam itu aku
diinterogasi dengan tangan terikat. Jari-jari kakiku remuk ditindih kaki meja.
Lenganku terbakar disudut api rokok. Setiap siuman pertanyaan datang dan selalu
sama, ”Mana Thukul?! Mana Thukul?! Mana Wiji Thukul?!”
Aku menggeleng lemah, dan
itu artinya bibirku makin pecah berdarah. Mataku terasa bengkak, nyeri, dan
perih.
Untuk mengurangi rasa
sakit aku selalu membayangkan wajahmu, dan menyebut lirih namamu, ”Mei
Wang....” Wajahmu yang berkilau dan binar matamu meredam rasa sakit yang
merajam seluruh tubuhku.
Setelah puas, aku dibawa
mereka pergi.
”Otakmu kiri, kau pantas
mati!”
Ancaman itu menggema di
jiwaku. Suaranya seperti ribuan Malaikat Izrail yang hendak mencabut nyawaku.
Nyaliku gemetar, rasanya tak ada lagi kehidupan yang membentang di hadapanku.
Hatiku menggigil, sepanjang jalan. Tiba-tiba mobil berhenti. Di sebuah
jembatan. Aku dikeluarkan dengan tangan masih terikat, dan diceburkan ke sungai
yang penuh air.
Aku ingat. Aku ingat
betul. Aku telah menyerah waktu itu.
Tapi Tuhan
menyelamatkanku lewat tangan seorang pemancing. Darinya aku cukup dirawat, dan
setelah membaik aku menengok kos, tentu bermaksud menemuimu.
”Beberapa lelaki
mengusirnya pergi,” kata penjual bakmi.
Nada suaranya terdengar
sedih. Cinta sejati yang mengatasi segala perbedaan, agama dan etnis, hancur
oleh bengisnya kekuasaan yang daya bunuhnya sampai ke jantung perasaan.
Untungnya, tak sampai
sebulan rezim itu tumbang. Tak akan ada orang yang menangkapku lagi. Tak akan
ada orang yang mengusirmu lagi.
Aku mulai mencarimu,
mencarimu ke mana saja. Cinta sejati tak memikirkan diri sendiri. Berhari-hari,
berminggu-minggu, bertahun-tahun aku menggelandang seperti orang gila. Bertanya
ke sana kemari, dan pada akhirnya menyerah pada kenyataan: kau tak mungkin bisa
ditemukan.
Dengan perasaan kalah,
aku membeli wayang potehi di Kampung Pecinan. Katanya dia adalah tokoh Sin Jin
Kui yang diadopsi jadi Joko Sudiro dalam lakon ketoprak. Aku membelinya karena
namanya sama denganku, dan kuyakin kau pun tahu tokoh ini. Memiliki wayang
potehi mengekalkan ingatanku padamu, menumbuhkan harapan yang telah pupus.
Hingga malam ini, saat
akan ada pertunjukan wayang potehi, hatiku bergetar. Aku sengaja datang,
berharap untuk terakhir kalinya bisa bertemu denganmu.
Aku percaya semua ini
telah ditakdirkan. Tuhan memberkatiku dengan memerlihatkan berlianku. Masih tak
percaya aku terus menatapmu. Dan jantungku berdebaran saat kau menyadari
kehadiranku. Mata kita bersirobok. Tiba-tiba wajahmu yang berkilau tampak terbakar,
air mukamu berubah pucat, seperti orang mati. Air mata jatuh dari sudut matamu,
berwarna merah.
Tubuhku bergetar hebat!
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar