Cerpen Han Gagas
Kedaulatan Rakyat, 26 Maret 2017
Dalam
bukunya yang berjudul Menembus Kematian, Dr. Fransiska menyarankan kepada kami
untuk mampu melawan delusi dan halusinasi dengan mengatakan tidak secara
keras-keras.
Aku juga melakukannya, untuk suara
anak kecil yang kerap mengembuskan napasnya hingga terasa di telingaku, aku
berhasil membungkamnya. Namun untuk mereka, para lelaki jahanam itu, aku tak
sanggup, suara mereka terdengar lebih lantang, rasanya seperti ikut dimuntahkan
oleh seluruh benda di sekitarku.
Aku coba meredamnya dengan headset
mendengarkan lagu Coldplay atau Green Day, dua band rock kesukaanku, dan
memutar volumenya keras-keras. Aku tak peduli pada akibatnya yakni jadi berasa tuli.
Tapi usaha itu tak selalu berhasil karena sosok mereka yang jahanam itu hadir
tak cuma lewat suara tapi juga bayangan. Untuk perlindungan diri, seketika aku
memejam yang seringkali terlambat, mereka kadung menghunjam dalam ingatanku,
membuatku terjepit, rasanya tak kuat, dan aku berlari, terus berlari, hingga jauh,
hingga tak tahu lagi aku berada di mana, sampai siksaan itu mereda.
Aku berlari sembari menangis.
Kali
terakhir saat kutersadar, ternyata aku di dalam kelenteng Tien Kok Sie, suara
lonceng angin yang dipasang di empat sudut bergemerincing, genta di sisi kanan dan
tambur di sisi kiri ruangan yang bergantungan di langit-langit berdentang dan
bertabuh menghancurkan suara-suara jahanam itu. Aku rasa, mereka tak berani
masuk ke tempat suci di mana para dewa bersemayam. Penglihatanku berangsur normal
lagi.
Hanya, aku sempat melihat anak kecil
itu yang mengaku bernama Maya melambaikan tangan di sebalik jendela kelenteng,
wajahnya pucat seperti mayat, bibir dan pipinya membiru lebam. Matanya, aku ngeri
sekaligus sedih karena tampak juling dan berkaca-kaca. Baju atasannya yang
putih ternoda merah basah seperti tersimbah darah. Tangannya terangkat seperti
minta tolong. Hatiku ragu, dan tiba-tiba dari arah belakangnya datang
serombongan para lelaki, seperti geng kriminal yang bertampang bengis, seorang
diantaranya mengayunkan kapak ke lehernya.
Aku
tak kuat melihat. Kupejamkan mata!
***
Aku
terbangun di sebuah dipan dalam ruangan bersih. Bau kamper bercampur
obat-obatan tercium hidungku. Tak ada siapapun di ruangan ini. Aku hendak
bangun, namun kedua tangan dan kakiku terikat!
“Tenanglah,
tak ada lagi yang akan mengganggumu....” Suara lembut dari perempuan berpakaian
putih mirip suster mendatangiku. Aku tak tahu dari mana datangnya, ia seakan
hadir begitu saja di sampingku. Wajahnya bundar, cantik, dengan bibir tipis
bagai kelopak mawar merah, ranum. Di hemnya ada pin nama: Mei Wang.
“Di
manakah saya?”
“Di
Panti Rehabilitasi.”
“Kenapa
tangan dan kakiku diikat?”
“Oh,
nanti aku akan bilang ke suster kepala untuk melepaskanmu, jika tenang kau akan
dibebaskan...”
Dia
menyuntik lenganku. Rasanya seperti digigit serangga. Saat aku memikirkan jenis
serangga tertentu, pandanganku mulai kabur, Wang tampak seperti bayangan, dan
sebelum sosoknya membuka pintu hendak keluar, aku merasa sangat mengantuk.
Entah
berapa lama aku tertidur. Begitu bangun tubuhku terasa kaku semua. Aku sudah
bebas. Di ruangan ini aku tak lagi sendiri. Ada sepuluh dipan dengan sepuluh
orang di atasnya, lima di samping kanan dan lima di kiriku, kebanyakan terlelap.
Suara dengkuran halus terdengar.
Cahaya
dari ventilasi yang ada di atas pintu membuatku silau, aku spontan menolehkan
kepala. Di sana tampak Wang duduk mencatat sesuatu di atas meja. Ada tiga
wanita di dekatnya dengan baju serupa.
Aku
mencoba bangun. Kakiku terasa ngilu, tapi kupaksa melangkah.
Mereka
melihatku, dan Wang tersenyum ramah.
“Sudah
bangun rupanya, pelan-pelan....” ucapnya dari kejauhan.
Aku
mencoba tersenyum tapi bibirku terasa sangat kaku. Mungkin karena kekakuan ini
senyumku lebih tampak seperti seringai, tiga perawat teman Wang tampak jijik
padaku. Aku tak peduli, dan melangkah ke depan, melihat-lihat ruangan.
Pintu
bangsal berjeruji besi dan digembok rantai. Dipan paling ujung seseorang terlihat
bangun. Tampangnya kisut, rambut awut-awutan, dia tertawa tiba-tiba, mengagetkanku.
Hening pecah seketika.
Akibat tawa kerasnya, dua pasien
lain bangun. Mata mereka sayu dan berair. Seakan belum sadar atas apa yang
telah membuat mereka bangun, mereka duduk di atas dipan memerhatikan tingkah
polah pasien yang kisut itu yang kini ngedumel, nyerocos tak jelas.
Ia kini lari-lari, memutari ruangan,
dan tiba-tiba menyibak tirai jendela, aku kaget, di balik jendela itu Maya si
anak kecil menatapku tajam! Wajahnya makin pucat, dan kedua sudut bibirnya mengeluarkan
darah.
“Kenapa engkau tak menolongku....”
katanya.
Kututup mataku dengan kedua tangan.
Dan mencoba melihatnya dari sela-sela jari. Dia tak ada! Aku lega. Aku
melangkah ke dipanku, hendak rebahan, namun baru selangkah, terdengar tawa
cekikikan dari luar, tawa para lelaki jahanam. Suaranya begitu keras, seakan
seluruh dinding ikut memantulkan suaranya. Kututup telingaku dengan kedua
tangan, dan berteriak kencang, “Tidaaaaakk!!!”
Dua suster menangkap tubuhku, dan Wang
menyuntik lenganku dengan cepat. Aku jadi lemas sekali.
Begitu sadar, aku ada di atas dipan,
buku karya Dr. Fansiska tergeletak di dadaku. Aku membukanya perlahan, mataku
berkedut, kubaca Bab Membunuh Kematian, aku ingin membunuh mereka para jahanam
itu yang arwahnya penasaran. Ajaran kedua dari buku itu setelah berkata tidak dengan
keras-keras adalah: tertawa, maka aku langsung tertawa mencobanya, “Ha-ha-ha.”
Kata buku itu: tawa membuat manusia jadi
bebas, jadi merdeka, tawa juga menekan mereka, suara-suara yang mengejek itu!
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar