Minggu, 26 Maret 2017

Suara-suara yang Mengejek

Cerpen Han Gagas
Kedaulatan Rakyat, 26 Maret 2017

Dalam bukunya yang berjudul Menembus Kematian, Dr. Fransiska menyarankan kepada kami untuk mampu melawan delusi dan halusinasi dengan mengatakan tidak secara keras-keras.
            Aku juga melakukannya, untuk suara anak kecil yang kerap mengembuskan napasnya hingga terasa di telingaku, aku berhasil membungkamnya. Namun untuk mereka, para lelaki jahanam itu, aku tak sanggup, suara mereka terdengar lebih lantang, rasanya seperti ikut dimuntahkan oleh seluruh benda di sekitarku.
            Aku coba meredamnya dengan headset mendengarkan lagu Coldplay atau Green Day, dua band rock kesukaanku, dan memutar volumenya keras-keras. Aku tak peduli pada akibatnya yakni jadi berasa tuli. Tapi usaha itu tak selalu berhasil karena sosok mereka yang jahanam itu hadir tak cuma lewat suara tapi juga bayangan. Untuk perlindungan diri, seketika aku memejam yang seringkali terlambat, mereka kadung menghunjam dalam ingatanku, membuatku terjepit, rasanya tak kuat, dan aku berlari, terus berlari, hingga jauh, hingga tak tahu lagi aku berada di mana, sampai siksaan itu mereda.
            Aku berlari sembari menangis.
Kali terakhir saat kutersadar, ternyata aku di dalam kelenteng Tien Kok Sie, suara lonceng angin yang dipasang di empat sudut bergemerincing, genta di sisi kanan dan tambur di sisi kiri ruangan yang bergantungan di langit-langit berdentang dan bertabuh menghancurkan suara-suara jahanam itu. Aku rasa, mereka tak berani masuk ke tempat suci di mana para dewa bersemayam. Penglihatanku berangsur normal lagi.
            Hanya, aku sempat melihat anak kecil itu yang mengaku bernama Maya melambaikan tangan di sebalik jendela kelenteng, wajahnya pucat seperti mayat, bibir dan pipinya membiru lebam. Matanya, aku ngeri sekaligus sedih karena tampak juling dan berkaca-kaca. Baju atasannya yang putih ternoda merah basah seperti tersimbah darah. Tangannya terangkat seperti minta tolong. Hatiku ragu, dan tiba-tiba dari arah belakangnya datang serombongan para lelaki, seperti geng kriminal yang bertampang bengis, seorang diantaranya mengayunkan kapak ke lehernya.
Aku tak kuat melihat. Kupejamkan mata!
***
Aku terbangun di sebuah dipan dalam ruangan bersih. Bau kamper bercampur obat-obatan tercium hidungku. Tak ada siapapun di ruangan ini. Aku hendak bangun, namun kedua tangan dan kakiku terikat!
“Tenanglah, tak ada lagi yang akan mengganggumu....” Suara lembut dari perempuan berpakaian putih mirip suster mendatangiku. Aku tak tahu dari mana datangnya, ia seakan hadir begitu saja di sampingku. Wajahnya bundar, cantik, dengan bibir tipis bagai kelopak mawar merah, ranum. Di hemnya ada pin nama: Mei Wang.
“Di manakah saya?”
“Di Panti Rehabilitasi.”
“Kenapa tangan dan kakiku diikat?”
“Oh, nanti aku akan bilang ke suster kepala untuk melepaskanmu, jika tenang kau akan dibebaskan...”
Dia menyuntik lenganku. Rasanya seperti digigit serangga. Saat aku memikirkan jenis serangga tertentu, pandanganku mulai kabur, Wang tampak seperti bayangan, dan sebelum sosoknya membuka pintu hendak keluar, aku merasa sangat mengantuk.
Entah berapa lama aku tertidur. Begitu bangun tubuhku terasa kaku semua. Aku sudah bebas. Di ruangan ini aku tak lagi sendiri. Ada sepuluh dipan dengan sepuluh orang di atasnya, lima di samping kanan dan lima di kiriku, kebanyakan terlelap. Suara dengkuran halus terdengar.
Cahaya dari ventilasi yang ada di atas pintu membuatku silau, aku spontan menolehkan kepala. Di sana tampak Wang duduk mencatat sesuatu di atas meja. Ada tiga wanita di dekatnya dengan baju serupa.
Aku mencoba bangun. Kakiku terasa ngilu, tapi kupaksa melangkah.
Mereka melihatku, dan Wang tersenyum ramah.
“Sudah bangun rupanya, pelan-pelan....” ucapnya dari kejauhan.
Aku mencoba tersenyum tapi bibirku terasa sangat kaku. Mungkin karena kekakuan ini senyumku lebih tampak seperti seringai, tiga perawat teman Wang tampak jijik padaku. Aku tak peduli, dan melangkah ke depan, melihat-lihat ruangan.
Pintu bangsal berjeruji besi dan digembok rantai. Dipan paling ujung seseorang terlihat bangun. Tampangnya kisut, rambut awut-awutan, dia tertawa tiba-tiba, mengagetkanku.
            Hening pecah seketika.
            Akibat tawa kerasnya, dua pasien lain bangun. Mata mereka sayu dan berair. Seakan belum sadar atas apa yang telah membuat mereka bangun, mereka duduk di atas dipan memerhatikan tingkah polah pasien yang kisut itu yang kini ngedumel, nyerocos tak jelas.
            Ia kini lari-lari, memutari ruangan, dan tiba-tiba menyibak tirai jendela, aku kaget, di balik jendela itu Maya si anak kecil menatapku tajam! Wajahnya makin pucat, dan kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah.
            “Kenapa engkau tak menolongku....” katanya.   
            Kututup mataku dengan kedua tangan. Dan mencoba melihatnya dari sela-sela jari. Dia tak ada! Aku lega. Aku melangkah ke dipanku, hendak rebahan, namun baru selangkah, terdengar tawa cekikikan dari luar, tawa para lelaki jahanam. Suaranya begitu keras, seakan seluruh dinding ikut memantulkan suaranya. Kututup telingaku dengan kedua tangan, dan berteriak kencang, “Tidaaaaakk!!!”
            Dua suster menangkap tubuhku, dan Wang menyuntik lenganku dengan cepat. Aku jadi lemas sekali.
            Begitu sadar, aku ada di atas dipan, buku karya Dr. Fansiska tergeletak di dadaku. Aku membukanya perlahan, mataku berkedut, kubaca Bab Membunuh Kematian, aku ingin membunuh mereka para jahanam itu yang arwahnya penasaran. Ajaran kedua dari buku itu setelah berkata tidak dengan keras-keras adalah: tertawa, maka aku langsung tertawa mencobanya, “Ha-ha-ha.”
            Kata buku itu: tawa membuat manusia jadi bebas, jadi merdeka, tawa juga menekan mereka, suara-suara yang mengejek itu!

[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar