Pengantar diskusi novel
"Dari Hari Ke Hari" karya Mahbub Djunaidi
Catatan Han Gagas
Akhir-akhir
ini karena tak punya kerjaan dan hanya sedikit menulis saya jadi agak banyak
membaca, diantaranya adalah novel Lorong Midaq karya Naguib Mahfouz seorang
peraih nobel sastra dari Mesir, buku cerita pendek Catatan Harian Orang Gila
karya Lu Xun, dan disusul “Dari Hari Ke Hari” karya Mahbub Djunaidi yang jadi
pemenang sayembara mengarang roman DKJ 1974.
Konsekuensi dari membaca secara berurutan dan tanpa jeda akan membuat kesan saya terhadap berbagai buku itu “bercampur”. Sehingga saat saya berupaya menyimak karya Mahbub, kedua buku sebelumnya secara spontan tanpa sadar dibandingkan.
Sekilas,
dalam ketiga buku itu ada kesamaan yakni nuansa sejarah di dalamnya. Dalam
Catatan Harian Orang Gila nuansa itu sangat tipis. Namun ketipisan nuansa itu
menurut saya memang cukup “perlu segitu” kalau tebal akan terasa memaksa cerita
berbingkai fakta dan akan menjadikannya sebagai tempelan. Cerita ini membuat
saya mengerti kenapa dan bagaimana tokohnya dianggap gila. Cerpen itu dibuka
dengan catatan harian yang ditulis dengan jeniusnya:
Malam
ini bulan bersinar sangat terang.
Aku tidak pernah melihatnya sejak lebih dari tiga puluh tahun silam, sehingga
ketika hari ini aku melihat pendarannya, aku merasakan adanya semangat luar
biasa merasuk dalam diriku. Aku mulai menyadari bahwa setelah lewat dari tiga
puluh tahun, aku berada dalam kegelapan. Kini aku harus sangat berhati-hati.
Lagi pula mengapa anjing di rumah Chao harus melirikku dua kali?
Aku menyimpan alasan untuk rasa takutku itu.
Bagi
seorang penulis cerita Lu Xun ini seakan menjadi karya wajib baca yang bukan
hanya memberi pemahaman bagaimana seseorang menjadi gila namun juga bagaimana
gaya tutur yang menggabungkan antara “aliran tenang dan penuh ledakan” berjalan
dalam lorong cerita yang masuk akal, tak sekedar fantasi atau sentuhan magis.
Sedang
Lorong Midaq adalah karya terkemuka dunia yang mengantarkan penulisnya meraih
nobel. Peletakan tokoh, geraknya dalam dinamika sejarah, karakterisasi, plot
menjalin kuat dalam sekujur bentangan cerita. Pendeknya, bila Anda mau belajar
menulis novel dengan benar, saran saya belajarlah langsung pada karya
ini.
Dan
buku ke-3: Dari Hari Ke Hari adalah novel bagus dengan penokohan yang gemilang.
Tokoh utama, aku, adalah seorang bocah yang dari sudut pandangnya cerita
bergerak, menuturkan banyak peristiwa sehari-hari yang bersentuhan secara
langsung dan tidak langsung dengan revolusi Indonesia berkisar antara
1945-1949, dimana kemerdekaan telah diproklamasikan namun kenyataannya Belanda
masih berupaya merebut tanah air kembali.
Selain
karena tokoh utama yang seorang bocah cerdas dan “bengal” juga gaya penceritaan Mahbub
yang di sejumlah tempat bernada kelakar atau memancing senyum dan tawa sehingga
enak dinikmati, seperti pada hal:
“Kekayaan
negeri kamu sekalian pernah berubah jadi malapetaka, karena orang-orang Barat datang
kemari semata-mata untuk merampok. Akibatnya, mereka kaya dan kita miskin. Jadi
kita ini penduduk miskin di negeri kaya. Kamu mesti ingat betul ini. Lantas
kita berontak, berkali-kali berontak. Ini pemberontakan yang sah dan sudah
semestinya, “ kata guruku.
“Tapi
kita selalu kalah melulu,” kataku.
Guruku
terbahak-bahak begitu mendadaknya, sehingga teman-teman ikut tertawa. Apa yang
salah pada kalimatku? Aku jadi gelisah dan kepingin kencing. (hal 29)
…..
Tanpa
banyak kesulitan, kucing itu kembali ke rumahku. Mengherankan, dia bertambah
gemuk, sedangkan rata-rata penduduk tambah kurus. Hanya binatanglah tampaknya
yang lolos dari badai revolusi yang makin meningkat.
.….
Dulu,
orang berjongkok tatkala kanjeng lewat, yang kebetulan sedang di pohon,
meluncur turun ke bumi, berhormat takzim.
Atau
dialog antar bocah:
“Syahrir
siapa?”
“Syahrir,
perdana menteri.”
“Edan
kamu. Apa gunanya menculik perdana menteri.”
Dan:
...
kakus itu tidak punya lubang penampung, melainkan cukup saluran ke got jalan. Jadi,
kotoran manusia bersifat terbuka, tidak disembunyikan. (hal 56)
Orang
jadi dengan mudah lewat jalan sembari menikmati pemandangan kotoran manusia di
got sampingnya.
“... Kau pikir
apa semua anak-anak brandal dikirim ke pesantren?”
Dialog
ini mengingatkan saya ketika masih kecil sampai remaja di Ponorogo, Jawa Timur,
di lingkungan saya, sesekali saya mendengar jika ada anak nakal langsung
dikirim ke pondok pesantren, jadi pesantren seakan seperti tempat penampung
bagi kesembuhan anak-anak nakal.
Atau
berupa sindiran pada bangsawan yang berjiwa lembek, yang ditunjukkan pada
dialog hal 59:
“Dari
mulai perundingan Linggarjati wakil kita kerjanya mengalah melulu,” sambut Pak
Sudjadi begitu kerasnya, sehingga Raden Mas Hardiman tercengang.
“Lho,
bukannya mengalah begitu,” ujar Raden Mas dengan tenangnya, hampir-hampir tak
kedengaran, “itu namanya alon-alon asal kelakon.”
Sindiran
Mahbub di novel ini juga mengarah pada lingkungan habitatnya, pesantren,
seperti pada hal 71:
...”Apa
kamu tidak tahu banyak anak kiai jadi brandal? Yang curi lonceng masjid pun
ada.”
Kepiawaian
Mahbub tak hanya dalam berkelakar namun juga dalam permainan metafora dan
pemilihan diksi, coba simak kalimat berikut:
Pada
penggambaran akan hujan:
Tatkala
kudengar ketukan-ketukan halus pada genting, kibasan daun-daun jambuku yang
terayun-ayun bagaikan ujung selendang, tahulah aku, langit sudah melepaskan
bebannya, dan hujan mulai turun.
Pada
penggambaran datangnya kereta:
Namun,
desis dan peluitnya mengasyikkan, lunak dan hormat, tak akan mengejutkan orang
di samping-sampingnya. Aku heran, setiap lewat Kauman, pasti dia bersiul.
Pada
penggambaran ironi kematian:
Betapa
mudah orang mati zaman sekarang. Kena peluru Belanda, atau dibunuh pemberontak,
atau mati lemas di gerbong kereta yang tertutup rapat, atau dijebloskan ke
lubang seperti gambarnya kulihat di pusat kota. Dan Pak Yahyo yang teramat tua
dan sengsara, tidur tanpa tilam dan bantal di tangga langgar, dan sering berdoa
supaya lekas meninggal saja, tetap hidup, dan kelihatannya pun sehat-sehat
saja. Jangan dipertanyakan, kata ayah, itu kekuasaan Tuhan.
Setting novel Mahbub berlatar tempat di Solo –lebih sempit lagi Kampung Kauman, di mana pada jaman itu kota ini menjadi tempat utama selain Jogja pergerakan perjuangan bangsa dipusatkan. Melalui novel ini, bila kita tinggal atau pernah berdomisili di Solo, akan mengingatkan kita pada sejumlah kenyataan, seperti kutipan pada hal 61:
Setting novel Mahbub berlatar tempat di Solo –lebih sempit lagi Kampung Kauman, di mana pada jaman itu kota ini menjadi tempat utama selain Jogja pergerakan perjuangan bangsa dipusatkan. Melalui novel ini, bila kita tinggal atau pernah berdomisili di Solo, akan mengingatkan kita pada sejumlah kenyataan, seperti kutipan pada hal 61:
Tengoklah
Bengawan Solo di bulan-bulan ini, kuda pun sanggup jalan melenggok di dasarnya.
Pada
tahun 1940an ternyata Bengawan Solo pun juga dilanda kekeringan, ini tak beda
dengan kondisi sekarang.
...
kereta api yang tak kuasa lari keras dan tak berkaca, kereta ini disebut
Mahbub sebagai si Jerman, beberapa waktu lalu saya ke Museum Palagan Ambarawa
di sana ada sebuah kereta api tertulis buatan Jerman dengan gerbong kayu tanpa
kaca.
Juga
penggambaran menara Masjid Agung yang tinggi dimana tokoh dan teman-temannya
sering masuk dan naik ke atas menara itu melalui tangga-tangga di
dalamnya.
Pada
bagian awal novel ini yang membuat saya tercengang adalah saat masinis
menghentikan laju kereta yang berute dari Jakarta ke Solo, dari mulut seorang
penumpang bangsawan penjual ban, kereta itu berhenti di depan rumah si masinis,
jaman revolusi semua rakyat adalah kere dan melarat, si masinis turun dari loko
dan menyerahkan segala barang dagangannya –pil, salep, obat panu, pentil
sepeda, perban- kepada istrinya, atau penadah untuk dijual di daerah pendudukan
yang serba susah. Begitulah cara si masinis mengatasi hidup melarat, yang
pertama harus digunakan adalah otaknya, bukan hatinya.
Simpulan
sederhana, benang merah apa yang bisa ditarik, terutama dari dua novel: Lorong
Midag dan Dari Hari Ke Hari. Dalam novel Mahbub begitu kental nuansa dan fakta
sejarah sehingga saya bisa mengatakannya sebagai novel sejarah -dan semi
biografi karena terpantul dari kenyataan yang dialami penulisnya, novel yang diceritakan
dengan amat simpel, mengalir, mudah dinikmati, tanpa ledakan konflik di
sana-sini namun tetap menggugah saya sebagai pembaca terutama pada bagian
“bakar kota” dimana semua rakyat rela membakar kotanya sendiri untuk
menghindari penaklukan Belanda lagi, pada bagian ini tulisan Mahbub amat
emosional sehingga menyentuh keharuan saya, suasana mencekam sangat terasa,
bagaimana gedung-gedung dibakarhanguskan sehingga tentara Belanda tak punya
tempat untuk menginap setelah konvoi menjajah kota, bagaimana kitab-kitab suci
disita Belanda dan terpaksa “dicuri” –yang pada hakikatnya adalah mencuri milik
sendiri- buat makan, juga bagaimana burung dara –klangenan- yang sangat
disayangi juga harus disembelih untuk mengatasi perut yang lapar.
Bila
saya mengenang karya Mahfouz, maka novel Mahbub ini terasa kering nilai
spiritualnya. Hanya memang ada sentuhan 'religi'nya seperti dalam kutipan:
“...
Dan hafalkan Barjanji, itu sajalah tugasmu. Kalau diceritakan seperti pelajaran
sejarah, hilang berkahnya.”
“Kuberikan
kau amalan, selawat Nariyah, ini perlu untuk keselamatan,” kata ayah. Secarik
kertas penuh tulisan disodorkan kepadaku. Harus dibaca 4444 kali. Begitu habis,
diulang lagi, diulang lagi. Apabila satu bacaan makan tempo setengah menit,
diperlukan 37 jam baca nonstop. Aku merasa punya tugas yang bukan
alang-kepalang.”
Mahfouz
si penerima nobel sastra dari Mesir ini walaupun dianggap oleh sebagian
masyarakat muslim berpaham liberal namun ada sentuhan berbau sufi/makrifat yang
diwakili oleh tokoh Tuan Ridwan Husaini, pribadi yang jernih yang senantiasa
melangkah ke arah kebajikan. Jalan yang ditempuhnya merupakan jalan
satu-satunya di Lorong Midag yang membawa manusia kepada keselamatan, jasmani
dan rohani. Mahfouz melambangkan perjalanan rohani yang paling penting adalah
saat Ridwan Husaini pergi menunaikan ibadah haji, perjalanan manusia ke
baitullah, rumah Allah, titik pusat kiblat manusia satu-satunya, yang
sebenarnya merupakan perjalanan tauhid dan makrifat kepadaNya.
Dalam
pidato nobelnya yang sangat santun di hadapan hadirin Akademi Swedia, Mahfoud
berkata: ”Pemenang sebenarnya dari hadiah ini, tak lain adalah Bahasa Arab itu
sendiri.” Bahasa yang sudah punya tradisi yang begitu dalam dan jauh. Bahasa
yang pernah merajai peradaban dunia, bahasa Al- Qur’an yang begitu kaya makna
dan penuh nuansa. Agaknya ia ingin membawa kembali bahasa itu kepada kejayaan
yang semula, Anda bisa juga jadi pewaris dan pelakunya.
Namun,
di atas semua itu, ditilik dari tema dan settingnya, novel ini amat penting
bagi kesusasteraan Indonesia sehingga sangat layak dibicarakan, kehadirannya
membuka cakrawala -secara cerdas dan juga jenaka- akan sejarah revolusi bangsa
1945-1949 yang tak banyak diangkat penulis kita -kecuali oleh maestro Pramoedya
Ananta Toer terutama dalam karya berjudul Larasati, novel ini sayangnya hilang sehingga saya tak bisa membacanya ulang untuk turut diperbandingkan. Saya jadi ingat
novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf yang menjadi satu-satunya pemenang
lomba novel DKJ 2008, kemenangannya -seperti yang diakui salah satu juri: Seno
Gumira Ajidarma- karena urgensi tema yang diangkat, Tanah Papua, yang belum
dieksplorasi secara jeni oleh para penulis kita.
Sebagai
penutup, bila kita mengingat ajaran filsuf dan
psikiatri Karl
Jaspers dengan eksistensialismenya: situasi batas menuju
penderitaan, kematian, perjuangan, dan kesalahan, yang saya sebut secara
sederhana sebagai klimaks manusia ‘berada’, dan bila kita teringat pula
akan nasihat penting dari Stanley Elkin tentang cara menarik perhatian dalam
cerita, yang dikatakan ulang oleh Josip Novakovich, yakni ceritakanlah tentang
seseorang yang berada dalam situasi/keadaan genting, maka ditilik dari dua
pandangan itu, novel Lorong Midaq paling memenuhi. Itulah barangkali sedikit
kekurangan yang ada dalam novel “Dari Hari Ke Hari”, tak ada gading yang tak
retak, novel Mahbub penuh dengan kegemilangan, fakta-fakta sejarah yang
terhampar di dalamnya terkesan tak memberatkan, tokoh-tokohnya menarik, gayanya
enak, nikmat, sehingga kekurangan “kering spiritual dan klimaks yang tak
puncak” tertutupi oleh kelebihan-kelebihan itu.
Barangkali
pembandingan itu sedikit timpang, dan mungkin kurang adil, namun sah dan boleh
juga kan kita membandingkan karya kita dengan sesuatu yang paling ideal, karya
milik kita dengan karya dunia.
Wallahu’alam
Bissawab.
pengen baca yang Catatan Orang Gila, terbitan mana? di toko ada gak ya....
BalasHapusjalasutra, buku lama, kayaknya gak ada di toko, mbak....
BalasHapus