Rabu, 21 Mei 2014

Resepsi Bacaan Sebuah Penanda Kesekian

Pengantar diskusi novel "Dari Hari Ke Hari" karya Mahbub Djunaidi
Catatan Han Gagas

Akhir-akhir ini karena tak punya kerjaan dan hanya sedikit menulis saya jadi agak banyak membaca, diantaranya adalah novel Lorong Midaq karya Naguib Mahfouz seorang peraih nobel sastra dari Mesir, buku cerita pendek Catatan Harian Orang Gila karya Lu Xun, dan disusul “Dari Hari Ke Hari” karya Mahbub Djunaidi yang jadi pemenang sayembara mengarang roman DKJ 1974.

Konsekuensi dari membaca secara berurutan dan tanpa jeda akan membuat kesan saya terhadap berbagai buku itu “bercampur”. Sehingga saat saya berupaya menyimak karya Mahbub, kedua buku sebelumnya secara spontan tanpa sadar dibandingkan.
Sekilas, dalam ketiga buku itu ada kesamaan yakni nuansa sejarah di dalamnya. Dalam Catatan Harian Orang Gila nuansa itu sangat tipis. Namun ketipisan nuansa itu menurut saya memang cukup “perlu segitu” kalau tebal akan terasa memaksa cerita berbingkai fakta dan akan menjadikannya sebagai tempelan. Cerita ini membuat saya mengerti kenapa dan bagaimana tokohnya dianggap gila. Cerpen itu dibuka dengan catatan harian yang ditulis dengan jeniusnya:

Malam ini bulan bersinar sangat terang.
            Aku tidak pernah melihatnya sejak lebih dari tiga puluh tahun silam, sehingga ketika hari ini aku melihat pendarannya, aku merasakan adanya semangat luar biasa merasuk dalam diriku. Aku mulai menyadari bahwa setelah lewat dari tiga puluh tahun, aku berada dalam kegelapan. Kini aku harus sangat berhati-hati. Lagi pula mengapa anjing di rumah Chao harus melirikku dua kali?
            Aku menyimpan alasan untuk rasa takutku itu.

Bagi seorang penulis cerita Lu Xun ini seakan menjadi karya wajib baca yang bukan hanya memberi pemahaman bagaimana seseorang menjadi gila namun juga bagaimana gaya tutur yang menggabungkan antara “aliran tenang dan penuh ledakan” berjalan dalam lorong cerita yang masuk akal, tak sekedar fantasi atau sentuhan magis. 
Sedang Lorong Midaq adalah karya terkemuka dunia yang mengantarkan penulisnya meraih nobel. Peletakan tokoh, geraknya dalam dinamika sejarah, karakterisasi, plot menjalin kuat dalam sekujur bentangan cerita. Pendeknya, bila Anda mau belajar menulis novel dengan benar, saran saya belajarlah langsung pada karya ini.   
Dan buku ke-3: Dari Hari Ke Hari adalah novel bagus dengan penokohan yang gemilang. Tokoh utama, aku, adalah seorang bocah yang dari sudut pandangnya cerita bergerak, menuturkan banyak peristiwa sehari-hari yang bersentuhan secara langsung dan tidak langsung dengan revolusi Indonesia berkisar antara 1945-1949, dimana kemerdekaan telah diproklamasikan namun kenyataannya Belanda masih berupaya merebut tanah air kembali.
Selain karena tokoh utama yang seorang bocah cerdas dan “bengal” juga gaya penceritaan Mahbub yang di sejumlah tempat bernada kelakar atau memancing senyum dan tawa sehingga enak dinikmati, seperti pada hal:
“Kekayaan negeri kamu sekalian pernah berubah jadi malapetaka, karena orang-orang Barat datang kemari semata-mata untuk merampok. Akibatnya, mereka kaya dan kita miskin. Jadi kita ini penduduk miskin di negeri kaya. Kamu mesti ingat betul ini. Lantas kita berontak, berkali-kali berontak. Ini pemberontakan yang sah dan sudah semestinya, “ kata guruku.
“Tapi kita selalu kalah melulu,” kataku.
Guruku terbahak-bahak begitu mendadaknya, sehingga teman-teman ikut tertawa. Apa yang salah pada kalimatku? Aku jadi gelisah dan kepingin kencing. (hal 29)
…..   
Tanpa banyak kesulitan, kucing itu kembali ke rumahku. Mengherankan, dia bertambah gemuk, sedangkan rata-rata penduduk tambah kurus. Hanya binatanglah tampaknya yang lolos dari badai revolusi yang makin meningkat.
.….
Dulu, orang berjongkok tatkala kanjeng lewat, yang kebetulan sedang di pohon, meluncur turun ke bumi, berhormat takzim.
Atau dialog antar bocah:
“Syahrir siapa?”
“Syahrir, perdana menteri.”
“Edan kamu. Apa gunanya menculik perdana menteri.”
Dan:
... kakus itu tidak punya lubang penampung, melainkan cukup saluran ke got jalan. Jadi, kotoran manusia bersifat terbuka, tidak disembunyikan. (hal 56)
Orang jadi dengan mudah lewat jalan sembari menikmati pemandangan kotoran manusia di got sampingnya.
“... Kau pikir apa semua anak-anak brandal dikirim ke pesantren?”
Dialog ini mengingatkan saya ketika masih kecil sampai remaja di Ponorogo, Jawa Timur, di lingkungan saya, sesekali saya mendengar jika ada anak nakal langsung dikirim ke pondok pesantren, jadi pesantren seakan seperti tempat penampung bagi kesembuhan anak-anak nakal.
Atau berupa sindiran pada bangsawan yang berjiwa lembek, yang ditunjukkan pada dialog hal 59:
Dari mulai perundingan Linggarjati wakil kita kerjanya mengalah melulu,” sambut Pak Sudjadi begitu kerasnya, sehingga Raden Mas Hardiman tercengang.
“Lho, bukannya mengalah begitu,” ujar Raden Mas dengan tenangnya, hampir-hampir tak kedengaran, “itu namanya alon-alon asal kelakon.”
Sindiran Mahbub di novel ini juga mengarah pada lingkungan habitatnya, pesantren, seperti pada hal 71:
...”Apa kamu tidak tahu banyak anak kiai jadi brandal? Yang curi lonceng masjid pun ada.”  
Kepiawaian Mahbub tak hanya dalam berkelakar namun juga dalam permainan metafora dan pemilihan diksi, coba simak kalimat berikut:
Pada penggambaran akan hujan:
Tatkala kudengar ketukan-ketukan halus pada genting, kibasan daun-daun jambuku yang terayun-ayun bagaikan ujung selendang, tahulah aku, langit sudah melepaskan bebannya, dan hujan mulai turun.
Pada penggambaran datangnya kereta:
Namun, desis dan peluitnya mengasyikkan, lunak dan hormat, tak akan mengejutkan orang di samping-sampingnya. Aku heran, setiap lewat Kauman, pasti dia bersiul.
Pada penggambaran ironi kematian:
Betapa mudah orang mati zaman sekarang. Kena peluru Belanda, atau dibunuh pemberontak, atau mati lemas di gerbong kereta yang tertutup rapat, atau dijebloskan ke lubang seperti gambarnya kulihat di pusat kota. Dan Pak Yahyo yang teramat tua dan sengsara, tidur tanpa tilam dan bantal di tangga langgar, dan sering berdoa supaya lekas meninggal saja, tetap hidup, dan kelihatannya pun sehat-sehat saja. Jangan dipertanyakan, kata ayah, itu kekuasaan Tuhan. 

Setting novel Mahbub berlatar tempat di Solo –lebih sempit lagi Kampung Kauman, di mana pada jaman itu kota ini menjadi tempat utama selain Jogja pergerakan perjuangan bangsa dipusatkan. Melalui novel ini, bila kita tinggal atau pernah berdomisili di Solo, akan mengingatkan kita pada sejumlah kenyataan, seperti kutipan pada hal 61:
Tengoklah Bengawan Solo di bulan-bulan ini, kuda pun sanggup jalan melenggok di dasarnya.
Pada tahun 1940an ternyata Bengawan Solo pun juga dilanda kekeringan, ini tak beda dengan kondisi sekarang.
... kereta api yang tak kuasa lari keras dan tak berkaca,  kereta ini disebut Mahbub sebagai si Jerman, beberapa waktu lalu saya ke Museum Palagan Ambarawa di sana ada sebuah kereta api tertulis buatan Jerman dengan gerbong kayu tanpa kaca.
Juga penggambaran menara Masjid Agung yang tinggi dimana tokoh dan teman-temannya sering masuk dan naik ke atas menara itu melalui tangga-tangga di dalamnya.   
Pada bagian awal novel ini yang membuat saya tercengang adalah saat masinis menghentikan laju kereta yang berute dari Jakarta ke Solo, dari mulut seorang penumpang bangsawan penjual ban, kereta itu berhenti di depan rumah si masinis, jaman revolusi semua rakyat adalah kere dan melarat, si masinis turun dari loko dan menyerahkan segala barang dagangannya –pil, salep, obat panu, pentil sepeda, perban- kepada istrinya, atau penadah untuk dijual di daerah pendudukan yang serba susah. Begitulah cara si masinis mengatasi hidup melarat, yang pertama harus digunakan adalah otaknya, bukan hatinya.
 Simpulan sederhana, benang merah apa yang bisa ditarik, terutama dari dua novel: Lorong Midag dan Dari Hari Ke Hari. Dalam novel Mahbub begitu kental nuansa dan fakta sejarah sehingga saya bisa mengatakannya sebagai novel sejarah -dan semi biografi karena terpantul dari kenyataan yang dialami penulisnya, novel yang diceritakan dengan amat simpel, mengalir, mudah dinikmati, tanpa ledakan konflik di sana-sini namun tetap menggugah saya sebagai pembaca terutama pada bagian “bakar kota” dimana semua rakyat rela membakar kotanya sendiri untuk menghindari penaklukan Belanda lagi, pada bagian ini tulisan Mahbub amat emosional sehingga menyentuh keharuan saya, suasana mencekam sangat terasa, bagaimana gedung-gedung dibakarhanguskan sehingga tentara Belanda tak punya tempat untuk menginap setelah konvoi menjajah kota, bagaimana kitab-kitab suci disita Belanda dan terpaksa “dicuri” –yang pada hakikatnya adalah mencuri milik sendiri- buat makan, juga bagaimana burung dara –klangenan- yang sangat disayangi juga harus disembelih untuk mengatasi perut yang lapar.
Bila saya mengenang karya Mahfouz, maka novel Mahbub ini terasa kering nilai spiritualnya. Hanya memang ada sentuhan 'religi'nya seperti dalam kutipan:
“... Dan hafalkan Barjanji, itu sajalah tugasmu. Kalau diceritakan seperti pelajaran sejarah, hilang berkahnya.”
“Kuberikan kau amalan, selawat Nariyah, ini perlu untuk keselamatan,” kata ayah. Secarik kertas penuh tulisan disodorkan kepadaku. Harus dibaca 4444 kali. Begitu habis, diulang lagi, diulang lagi. Apabila satu bacaan makan tempo setengah menit, diperlukan 37 jam baca nonstop. Aku merasa punya tugas yang bukan alang-kepalang.”
Mahfouz si penerima nobel sastra dari Mesir ini walaupun dianggap oleh sebagian masyarakat muslim berpaham liberal namun ada sentuhan berbau sufi/makrifat yang diwakili oleh tokoh Tuan Ridwan Husaini, pribadi yang jernih yang senantiasa melangkah ke arah kebajikan. Jalan yang ditempuhnya merupakan jalan satu-satunya di Lorong Midag yang membawa manusia kepada keselamatan, jasmani dan rohani. Mahfouz melambangkan perjalanan rohani yang paling penting adalah saat Ridwan Husaini pergi menunaikan ibadah haji, perjalanan manusia ke baitullah, rumah Allah, titik pusat kiblat manusia satu-satunya, yang sebenarnya merupakan perjalanan tauhid dan makrifat kepadaNya.
Dalam pidato nobelnya yang sangat santun di hadapan hadirin Akademi Swedia, Mahfoud berkata: ”Pemenang sebenarnya dari hadiah ini, tak lain adalah Bahasa Arab itu sendiri.” Bahasa yang sudah punya tradisi yang begitu dalam dan jauh. Bahasa yang pernah merajai peradaban dunia, bahasa Al- Qur’an yang begitu kaya makna dan penuh nuansa. Agaknya ia ingin membawa kembali bahasa itu kepada kejayaan yang semula, Anda bisa juga jadi pewaris dan pelakunya. 
Namun, di atas semua itu, ditilik dari tema dan settingnya, novel ini amat penting bagi kesusasteraan Indonesia sehingga sangat layak dibicarakan, kehadirannya membuka cakrawala -secara cerdas dan juga jenaka- akan sejarah revolusi bangsa 1945-1949 yang tak banyak diangkat penulis kita -kecuali oleh maestro Pramoedya Ananta Toer terutama dalam karya berjudul Larasati, novel ini sayangnya hilang sehingga saya tak bisa membacanya ulang untuk turut diperbandingkan. Saya jadi ingat novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf yang menjadi satu-satunya pemenang lomba novel DKJ 2008, kemenangannya -seperti yang diakui salah satu juri: Seno Gumira Ajidarma- karena urgensi tema yang diangkat, Tanah Papua, yang belum dieksplorasi secara jeni oleh para penulis kita. 
Sebagai penutup, bila kita mengingat ajaran filsuf dan psikiatri Karl Jaspers dengan eksistensialismenya: situasi batas menuju penderitaan, kematian, perjuangan, dan kesalahan, yang saya sebut secara sederhana sebagai klimaks manusia ‘berada’, dan bila kita teringat pula akan nasihat penting dari Stanley Elkin tentang cara menarik perhatian dalam cerita, yang dikatakan ulang oleh Josip Novakovich, yakni ceritakanlah tentang seseorang yang berada dalam situasi/keadaan genting, maka ditilik dari dua pandangan itu, novel Lorong Midaq paling memenuhi. Itulah barangkali sedikit kekurangan yang ada dalam novel “Dari Hari Ke Hari”, tak ada gading yang tak retak, novel Mahbub penuh dengan kegemilangan, fakta-fakta sejarah yang terhampar di dalamnya terkesan tak memberatkan, tokoh-tokohnya menarik, gayanya enak, nikmat, sehingga kekurangan “kering spiritual dan klimaks yang tak puncak” tertutupi oleh kelebihan-kelebihan itu.
Barangkali pembandingan itu sedikit timpang, dan mungkin kurang adil, namun sah dan boleh juga kan kita membandingkan karya kita dengan sesuatu yang paling ideal, karya milik kita dengan karya dunia.

Wallahu’alam Bissawab. 
   



2 komentar:

  1. pengen baca yang Catatan Orang Gila, terbitan mana? di toko ada gak ya....

    BalasHapus
  2. jalasutra, buku lama, kayaknya gak ada di toko, mbak....

    BalasHapus