Cerpen-cerpen Indonesia mutakhir diwarnai oleh komodifikasi yang
bisa disingkat dengan jimat "cerpen koran". Bentuknya ringkas, isinya
padat, dikemas dengan gaya yang unik, selesailah. Seperti membuat pop mie;
cepat saji, segar, dan gurih.
Di tengah-tengah komodifikasi itu, kumpulan cerpen bertajuk Ritual (2012) karya Han Gagas sesungguhnya bisa diapresiasi sebagai sebuah
perlawanan yang betul-betul berani terhadap kemasan cerpen koran. Sungguh pun
tidak bisa dimungkiri, 17 cerita dalam kumpulan cerpen sebagian besar sudah
dipublikasikan di media lokal maupun nasional. Cerpen-cerpennya tidak
mengangkat fakta segar, tetapi mengaduk-aduk ingatan lama yang terkubur di
bawah sadar sebagai trauma.
Bentuk ungkapan yang sangat antropologis mengingatkan pada cerpen panjang karya mendiang Umar Kayam. Hal itu juga bisa dilihat dari tokoh-tokoh yang dibangun, model pengaluran, serta pesan-pesan yang hendak disampaikan. Tulisan ini melihat karya Han Gagas secara struktural dan menunjukkan relevansinya dalam kajian cerpen Indonesia mutakhir. Sebab, melalui kajian struktural ini hendak dibentuk suatu common sense untuk melihat cerpen yang kuat dan cerpen lemah. Pada saatnya nanti, pijakan itu sangat bermanfaat dalam pengembangan sejarah, kritik, dan teori sastra Indonesia masa kini.
Simptom Sosial
Secara umum cerpen-cerpen Han Gagas mengungkapkan realitas-realitas tak sadar
dari masyarakat kontemporer. Dia memiliki prinsip bahwasanya masyarakat yang
bergerak sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari lapis-lapis ketidaksadaran
yang turut menopangnya. Batasnya sangat tipis. Bukti paling kuat tampak dalam
cerpen "Gemblak" yang mengingatkan kita pada kasus perbudakan,
kanibalisme, dan tribalisme yang sangat dekat dengan kita pada masa lalu.
Secara umum cerpen ini menceritakan tentang lamaran seorang warok kepada
seorang pemuda bernama Hargo. Pemuda itu sebetulnya tidak mau karena dia
mengetahui nasib gemblak yang sangat sengsara. Selain menjadi objek homoseks,
seorang gemblak dengan kata lain adalah seorang budak karena gemblak telah
dibeli dengan sejumlah raja kaya. Di sisi lain, lamaran itu bagi keluarga
adalah berkah karena harta lamaran berupa sapi, emas, serta berbagai makanan
adalah hal yang sulit didapat oleh keluarga miskin.
Di tengah dilema itu, akhirnya Hargo memutuskan melarikan diri.
Kendati dia tahu, pada saat yang sama keputusan itu berarti malapetaka bagi
keluarganya. Cerita ini diakhiri dengan upaya Hargo melangkah keluar dan pada
saat yang sama pundaknya sudah dipegang oleh sang ayah. Lihat kutipan berikut:
Hargo membuka selot pintu belakang, namun sebuah tangan dengan cepat menangkap bahunya, mencengkeram.
"Hendak ke mana, kau!!" Suara berat Rekso menghentikan langkahnya (dalam cerpen "Gemblak").
Hargo membuka selot pintu belakang, namun sebuah tangan dengan cepat menangkap bahunya, mencengkeram.
"Hendak ke mana, kau!!" Suara berat Rekso menghentikan langkahnya (dalam cerpen "Gemblak").
Apakah itu berarti Hargo gagal melarikan diri dan menjadi gemblak?
Hal itu tidak diceritakan. Sebaliknya, pencekalan itu bukan berarti upaya Hargo
sama sekali tidak berhasil. Perihal pertanyaan itu kiranya bukan bagian dari
cerita ini karena cerita telah berhenti ketika Hargo memutuskan pergi.
Akhir yang tiba-tiba itu sontak membebani pembaca agar turut
melanjutkan ceritanya. Sebab, cerita yang sudah berakhir bagi penulis tidak
berlaku bagi pembaca.
Akhir bukanlah akhir. Pencerita menyerahkan akhir kepada pembaca.
Setelah itu bisa dilanjutkan dalam kepala pembaca masing-masing. Bukti lain,
cerpen "Antara Rumah dan Kebun". Dia memberikan akhir bercerita
tentang keangkeran suatu kebun yang berada tak jauh dari rumah si
aku-pencerita. Dikisahkan, karena keterbatasan keuangan, akhirnya sang suami
membeli rumah yang konon angker. Sebab, tak jauh dari rumah itu terhampar kebun
yang selalu memunculkan fenomena aneh saat malam. Suatu malam dia mencium aroma
bunga yang sangat menusuk sehingga dia jadi bergidik ngeri. Kejadian aneh itu
belakangan diketahui oleh istrinya. Selama ini, sang istri sengaja tidak diberi
tahu agar bersedia menempati rumah baru itu, apa boleh buat, sang istri
akhirnya mengajak pergi dari rumah yang baru dibeli.
Sang suami menolak dengan cara memberi pengertian tentang adanya
yang mahakuasa. Secara tak sengaja seorang tetangga telah menceritakan
sebab-musabab keangkeran itu. Rumah yang baru saja ditinggali konon adalah
bekas rumah bidan yang berpraktik aborsi. Setiap bayi yang berhasil diaborsi
akhirnya dibuang tak jauh dari rumah itu. Akhirnya arwah bayi itu penasaran dan
menangis tiap malam. Akhir cerita dikisahkan berikut ini:
Di manakah bau harum tadi? Kakiku terpaku di tempat. Ujung jariku kaku memegang korden. Tak bisa digerakkan. Muncul tawa cekikikan anak-anak kecil di luar. Tanganku gemetar. Jantungku copot!
Suara langkah terseret makin dekat...
Aku hendak berdoa, tapi lidahku kelu. Tenggorokanku tercekat!
Terdengar suara menyayat-yayat, memilukan. Isak tersedu. (Dalam cerpen "Antara Rumah dan Kebun")
Gambaran tersebut sudah diungkapkan sejak awal cerita. Tapi kutipan di atas diambil dari babak terakhir. Kemiripan gambaran itu seperti meneror pembaca tentang kisah misteri yang dimunculkan sejak awal hingga akhir. Ruang yang terbatas mengharuskan pencerita mengakhiri sebelum alur benar-benar mencapai leraian dan berujung pada penyelesaian.
Analisis pengaluran itu sangat bermanfaat untuk menelisik pesan yang bisa tersampaikan kendati durasi tidak panjang. Tokoh-tokoh dibangun secara tegas dalam semua cerpen sehingga pencerita berhasil menciptakan karakter secara baik. Latar disusun detail dan menyatu dengan pesan. Tema-tema mitos, misteri dan mistis bisa menjadi sangat menonjol.
Di manakah bau harum tadi? Kakiku terpaku di tempat. Ujung jariku kaku memegang korden. Tak bisa digerakkan. Muncul tawa cekikikan anak-anak kecil di luar. Tanganku gemetar. Jantungku copot!
Suara langkah terseret makin dekat...
Aku hendak berdoa, tapi lidahku kelu. Tenggorokanku tercekat!
Terdengar suara menyayat-yayat, memilukan. Isak tersedu. (Dalam cerpen "Antara Rumah dan Kebun")
Gambaran tersebut sudah diungkapkan sejak awal cerita. Tapi kutipan di atas diambil dari babak terakhir. Kemiripan gambaran itu seperti meneror pembaca tentang kisah misteri yang dimunculkan sejak awal hingga akhir. Ruang yang terbatas mengharuskan pencerita mengakhiri sebelum alur benar-benar mencapai leraian dan berujung pada penyelesaian.
Analisis pengaluran itu sangat bermanfaat untuk menelisik pesan yang bisa tersampaikan kendati durasi tidak panjang. Tokoh-tokoh dibangun secara tegas dalam semua cerpen sehingga pencerita berhasil menciptakan karakter secara baik. Latar disusun detail dan menyatu dengan pesan. Tema-tema mitos, misteri dan mistis bisa menjadi sangat menonjol.
Lihat cerpen "Redi Kelud". Ada keluarga cacat yang
dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Kalimat itu mengisyaratkan hadirnya
tokoh yang tipikal. Belakangan diketahui salah seorang anak berumur sepuluh
tahun bernama Redi justru memiliki kelebihan. Di punggungnya tumbuh sayap
sehingga dia mirip malaikat. Sampai kemudian dia mengiris sayap itu tetapi yang
terjadi justru banjir darah di kampungnya. Banjir darah itu mengakibatkan
ibunya kembali teringat pembantaian massal 1965. Banjir darah itu akhirnya bisa
diubah menjadi banjir lumpur oleh si cebol. Bahkan si cebol bisa mengalihkan
banjir itu sehingga tidak menenggelamkan keluarganya.
Tema dan tokoh sangat cemerlang, tetapi lemah dalam alur. Justru
cerpen kuat dapat dilihat dalam teknologisasi cerita yang sederhana sebagaimana
ditampilkan dalam cerpen "Mbah Mangun dan Mbah Naim". Cerpen itu
menceritakan tentang sosok lelaki mistis bernama Mbah Mangun. Sosok ini
digambarkan berpakaian sederhana, sering dijumpai berjalan di pinggir jalan,
dan memiliki senyum misterius. Tokoh aku tertarik dengan Mbah Mangun karena
penasaran dengan penampilan yang sangat khas di kampung itu. Suatu ketika,
tokoh aku bermaksud menunaikan ibadah haji. Menjelang sampai di bandara, dia
berpapasan dengan Mbah Mangun di pinggir jalan. Mereka saling melemparkan
senyum. Anehnya, ketika sampai di Makkah, dia menjumpai Mbah Mangun dan sempat
bercakap-cakap. Bahkan ketika tokoh aku pingsan karena berdesak-desakan, Mbah
Mangunlah yang menolongnya.
Peristiwa itu jelas membuat tokoh aku semakin penasaran untuk tahu
lebih jauh. Sampai suatu ketika Mbah Mangun dituduh telah membunuh Mbah Naim.
Modus pembunuhannya adalah dengan cara membacakan ayat suci. Begitu dibacakan,
maka Mbah Naim langsung wafat. Sebelumnya disinyalir Mbah Naim tidak bisa mati
karena memiliki ilmu kebal. Warga lain menyatakan bahwa Mbah Naim diguna-guna
karena tidak mau mengubah wasiat yang terkait dengan harta warisan. Kematian
Mbah Naim yang cepat itu jelas menggagalkan rencana anaknya yang menginginkan
warisan lebih banyak dengan cara mencari peluang agar si empunya mengubah isi
wasiat. Karena itu, Mbah Mangun kemudian diajukan ke meja pengadilan. Ironisnya
dia mengakui telah membunuh Mbah Naim dengan ayat suci. Pengakuan itu membuat
dia masuk penjara. Setelah putusan kehakiman, Mbah Mangun mendatangi tokoh aku
lewat mimpi. Dia pamit. Dan ketika terbangun, benar saja, Mbah Mangun telah
wafat.
Sederhana, tetapi memikat. Dia mengangkat mitos-mitos yang
berkeliaran di tengah masyarakat menjadi bentuk cerita yang sangat realis.
Ironi yang muncul melalui tokoh Mbah Mangun justru kian menjelaskan fakta-fakta
sosial yang timpang.
Labirin Traumatik
Labirin Traumatik
Pendeknya, realisme Han Gagas mengubah fakta-fakta sosial itu
menjadi ironi yang sangat menyentuh. Dalam bentuk yang sederhana terdapat dalam
cerpen "Kucing Tetangga". Ada kisah lika-liku kehidupan bertetangga
yang memfokuskan pada gangguan seekor kucing. Tokoh utama menduga kegagalan
kandungan istrinya itu akibat kucing yang selalu mampir ke rumahnya. Fakta
sosial itu dipotret secara detail yang memberikan pesan betapa sulit hidup
bermasyarakat.
Dalam kasus yang berat, fakta-fakta sosial itu ditampilkan dalam
cerpen "Bangunan Itu Menelan Ibu dan Bulanku". Cerpen ini bercerita
tentang seorang anak yang diasuh oleh bapaknya. Ibunya belakangan diketahui
telah menjadi korban akibat ambruknya sebuah bangunan. Lelaki yang berperan
sebagai single parent ternyata harus menampilkan peran sebagai sosok yang tak
tergoyahkan oleh masa lalu.
Hal itu juga tampak dalam cerpen "Kabar Duka" yang
mengangkat kesetiaan seorang istri menunggu suami yang sudah tewas dalam
setting peristiwa gestapu 1965. Tema-tema sosial-politik tampak mencuat dalam karya "Nasib
Membekap Karno", "Menunggu Suaramu di Hapeku",
"Layang-Layang", dan "Gemerincing Malam" yang memiliki
setting politik negara Islam. Cerita-cerita lain yang mengangkat unsur mistik dan
peristiwa traumatik antara lain "Susuk Kekebalan", "Kawin
Ghaib", "Ritual", "Aku Sengaja Datang ke Kotamu",
"Badai Utara", "Merapi dan Bisul".
Setelah membaca seluruh cerpen-cerpennya, kita mendapatkan informasi
penting tentang mitos dan realisme. Dalam sejarah cerpen di Indonesia,
cerpen-cerpen realis itu berada dalam genre yang pernah diusung Seno Gumira
Ajidarma melalui cerpen Saksi Mata. Akan tetapi, ketika merujuk pada jalinan
mitos-mitos sosial dalam ceritanya, kita tidak bisa meninggalkan pengaruh
Danarto dalam cerpen "Rintrik"; Itu sebuah cerpen fenomenal yang
menghidupkan arwah bayi yang dibunuh melalui aborsi. Bagaimanapun juga, cerpen
itu tetaplah membayang-bayangi dalam cerita tentang arwah bayi dalam cerpen
"Antara Rumah dan Kebun". Penggarapan mitos dan realitas sosial pernah
secara berhasil dilakukan oleh Mustofa Bisri dalam kumpulan cerpen Lukisan
Kaligrafi, tetapi Han Gagas memberikan warna "abangan" yang sangat
kental.
Cerpen kuat seperti "Mbah Mangun dan Mbah Naim",
"Nasib Membekap Karno", maupun "Layang-layang" dapat
dijadikan inspirasi bagi dunia sastra untuk mengembangkan gagasan-gagasannya
dan meramaikan khazanah cerpen realis di Indonesia.
DR. SAIFUR ROHMAN, Pengajar Kritik Sastra di Universitas Negeri Jakarta, menetap di Semarang.
DR. SAIFUR ROHMAN, Pengajar Kritik Sastra di Universitas Negeri Jakarta, menetap di Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar