Sastra adalah dunia yang unik. “Dunia jungkir
balik,” kata Budi Darma. Justru keunikan itulah yang menjadi pertaruhan seorang
sastrawan, tak mesti dalam bentuk, tapi lebih pada persfektif. Cara pandang
pengarang yang unik akan sangat menentukan dunia yang dibangunnya, meskipun
secara bentuk (struktur) biasa saja. Cerpen dan novel Kuntowijoyo bisa sebagai
pintu masuk apa yang saya maksud. Secara bentuk karya Kuntowijoyo boleh
dikatakan konvensional, namun prilaku dan pandangan tokoh-tokohnya berhasil mengusung
sisi budaya (Jawa) yang inkonvensional. Yaitu, sisi budaya yang tidak gampang
dimaknai, sebab meskipun terlihat sederhana, ia sesungguhnya sangat kompleks.
Lihat misalnya cerpen “Anjing-anjing
Menyerbu Kuburan” (1996). Kuntowijoyo menceritakan seorang laki-laki mencari pesugihan dengan menggali kuburan orang
yang meninggal pada Selasa Kliwon. Dia harus mengambil sepasang telinga mayat
itu. Sekilas, kita akan menganggap tokoh itu abnormal, takhyul dan mistik.
Namun sebenarnya kepercayaan itu bukan milik ia seorang. Sebab nyatanya kuburan
orang yang meninggal pada hari Anggara Kasih itu dijaga petugas kampung selama
tujuh hari tujuh malam. Jadi kepercayaan semacam itu bersifat kolektif (Ah,
bagaimanakah memvonis kepercayaan kolektif sebagai irasional?)
Singkat cerita, laki-laki itu
harus mengelabui warga yang bertugas menjaga kuburan, tentu, dengan memenuhi
semua syarat yang diminta sang guru. Ia harus menaburkan beras kuning supaya
penjaga tertidur. Menggali kuburan harus dengan tangan telanjang (tak boleh
pakai alat bantu). Lalu mengambil telinga mayat langsung memakai mulut (tak
boleh pakai tangan). Meski lagi-lagi terdengar irasional, toh ketika syarat itu
dipenuhi ternyata efeknya memang berhasil meninabobokkan para penjaga makam
(Bagaimanakah cara menolak hubungan syarat dan efek yang ditimbulkannya?).
Meski di luar dugaan, anjing-anjing yang tak diketahui asalnya datang menyerbu
kuburan sehingga laki-laki itu kelimpungan sampai tak terasa fajar telah
datang. Ia pingsan diserbu anjing-anjing, bersamaan terbangunnya para penjaga
makam. Sebagian mereka menuding,”Pencuri!” Yang lain membela,”Penyelamat!”
Sampai di sini, cerita bercabang
dua, bahkan bercabang banyak; tidak hitam tidak putih. Jangankan kita sebagai
pembaca, bahkan para pelaku cerita pun tak dapat memutuskan apa yang sebenarnya
terjadi. Masing pihak punya pendapat dan anggapannya sendiri. Begitu pulalah
pembaca, jelas tak mudah menjatuhkan vonis benarkah dia penyelamat ataukah
pecundang. Inilah contoh sederhana bagaimana keunikan dalam sastra tidak bisa
dimaknai secara hitam-putih. Meskipun karya yang diresepsi bukan karya yang
eksprimental dalam bentuk, namun berkat persfektif yang unik, terjadi penajaman
tema sehingga ia menghadirkan dunia yang tak biasa.
Keunikan
Budaya Etnik
Tentu tidak kalah banyaknya pula
hasil sastra Indonesia yang tajam dalam persfektif sekaligus unik dalam bentuk.
Cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob (1976)
dan Adam Ma’rifat (1982) misalnya,
sama-sama berangkat dari budaya Jawa, dalam hal ini dunia Kejawen. Sambil
mengeksplorasi “keajaiban” atau mungkin “kegaiban” dunia Kejawen, Danarto
sekaligus memanfaatkan “keajaiban” dan “kegaiban” itu sebagai kendaraan cerita sehingga
menghasilkan bahasa serta kalimat-kalimat mistis yang mengalir, bebas
mengembara serupa angin, jumpalitan serupa roh-roh halus bahkan malaikat yang
turun ke bumi. Tentu memaknainya jauh lebih sulit, setidaknya tak semudah
menuding “bahasanya kacau, ceritanya tak masuk akal”—jika tak mau dianggap
serampangan.
Jelas pula, keunikan dalam sastra
tak hanya dibentuk oleh keunikan budaya lokal (etnik) tertentu, dia bisa juga
berupa dunia modern (urban, metroplis, diaspora) sebagaimana dapat ditemukan
dalam cerpen/novel Putu Wijaya, Iwan Simatupang atau Budi Darma. Akan tetapi, disadari
atau tidak, keunikan budaya Nusantara (budaya etnik) menjadi salah satu pilar
yang banyak menyumbang keunikan dunia sastra modern Indonesia. Keunikan
tersebut tak hanya menyangkut situasi fisik dan ritual tapi juga pandangan
hidup, sistem sosial, bahkan dunia batin pemilik kebudayaan itu. Lebih dari
sekedar memperkaya diskursus lokalitas, keunikan budaya itu mesti dipandang
sebagai sumur inspirasi sastrawan tanah air sekaligus sumber spirit kehadiran nilai-nilai
alternatif di tengah dominannya standar nilai yang baku.
Sebutlah dunia ronggeng dalam novel
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1981). Dunia ronggeng dihadirkan tak sekedar yang
tampak, alih-alih eksotis, tapi tak kalah penting dunia batin dan nilai yang
diusung para pelakunya. Jauh sebelum dilayarlebarkan menjadi Sang Penari, tokoh Srintil telah menjadi
simbol dunia pe-ronggeng-an yang tak hanya menggoyang Rasus dan masyarakat Dukuh Paruk. Ia
bahkan menggoyang pikiran masyarakat umum (di luar teks) yang mempertanyakan
kejumudan tradisi serta kepatutan nilai-nilai. Patutkah seorang perempuan desa
“dikorbankan” dalam ritual dengan hasrat libido massal? Apakah artinya tradisi
jika penari mesti “dipersembahkan” kepada lelaki yang memiliki uang? Dan tradisi
itu dibiarkan bahkan dipelihara oleh komunitas masyarakat bersangkutan!
Gugatan-gugatan normatif yang
berseliweran di luar teks tentu saja dengan sendirinya ikut berada di luar
“tanggung jawab” sebuah teks. Sebab ketahuilah, sastra, dalam hal ini Ronggeng Dukuh Paruk tidak mendedahkan
risalah moral, dan jika pun ada (dan seharusnya memang ada), tidaklah dengan
cara yang verbal. Sastra melihat dunia ronggeng sebaik para pelaku budaya
ronggeng menjaga tradisinya. Mereka misalnya percaya bahwa ronggeng adalah
simbol kesuburan. Menjadi ronggeng tak semudah mengencingi umbi singkong
sebagaimana dilakukan Rasus dan kawan-kawannya. Bahwa menjadi ronggeng mesti
memenuhi “isyarat langit, isyarat bumi”, dan seorang ronggeng adalah ia yang
“terpilih”. Oleh karena itu, berbagai ritual eksotik yang membakar suasana
malam seisi desa adalah sah. Bahkan “upacara buka kelambu” bukanlah sesuatu
yang tabu, alih-alih kehormatan. Maka, sebagaimana ronggeng punya “pakem”-nya
sendiri, sastra pun mesti percaya pada kekuatan “pakem”-nya yang dikenal
sebagai konvensi—unsur-unsur intrinsik/ekstrinsik yang melekat pada dirinya
itu. Salah satu yang terpenting adalah persfektif, sudut pandang, dari mana
nilai-nilai “kebenaran” bukan dalam takaran hitam atau putih.
Dunia
Warok
Lebih jauh tentang ini, tak kalah
menarik melihat budaya “unik” Nusantara lainnya, yakni dunia warok. Han Gagas
dalam novel perdananya, Tembang Tolak
Bala (LKiS Yogyakarta, Mei 2011) mengangkat kesenian reog Ponorogo. Tak
sekedar penampilannya yang atraktif dan indah, melainkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kehidupan di “belakang panggung”—dan ini jauh lebih
menantang.
Salah satunya adalah kehidupan
warok, pelaku utama reog. Sosok dan laku hidup warok didedah secara terbuka.
Seorang warok menjalani ritual-ritual khusus demi menjaga kesaktiannya. Susuk
dan meditasi di sanggar pamujaan adalah dua di antaranya. Namun yang paling
membedakan dengan yang lain—karena berhubungan langsung dengan lingkungan
sosial—ialah pantangannya untuk bercampur dengan perempuan. Konon, lelaku yang
diturunkan dari Klonosewandono, pendiri Kerajaan Bentar Angin yang kelak
dikenal sebagai Wengker, itu, pada mulanya dihasratkan untuk menjaga kesucian
dirinya sebagai calon raja. Dalam prakteknya kemudian, pantangan itu memunculkan
gemblak sebagai kata kunci berikutnya dalam khazanah seni reog Ponorogo, di
mana warok akan memelihara seorang anak
laki-laki (gemblak) sebagai “kawan intim”.
Demikianlah
cerita tentang warok dan gemblak kemudian mengisi hampir separoh halaman novel ini.
Lewat tokoh “aku” (Hargo) kita bisa mengikuti dengan jelas dunia warok dan
per-gemblak-an. Tak lain karena Hargo seorang bocah yang dijadikan gemblak oleh
warok paling terkenal di wilayah bekas kerajaan Wengker: Eyang Tejowulan. Meskipun
sang Eyang punya istri, Nyi Tejo atau Eyang Putri, dan Hargo pun punya orang
tua, bahkan ia masih kerabat Tejowulan. Ini menunjukkan bahwa dunia gemblak
memiliki kultur sendiri yang “sah” karena semua berlangsung “sepengetahuan”
ayah, ibu, istri dan anggota masyarakat semua. Bahkan tidak jarang prosesi
lamaran seorang gemblak dilaksanakan secara besar-besaran, sebagaimana
disaksikan sendiri oleh Hargo: Seorang
dandan atau wakil dari pelamar (warok) beserta rombongannya menaiki dokar.
Dokar itu taklah berlenggang tangan, di dalamnya terusung segala jenis bawaan:
berslop-slop rokok, gula tebu, berkarung-karung beras, abon-abon pisang raja
dan sirih-kinang. Di tengah rombongan dituntun seekor sapi atau kerbau, sebagai
mahar “perkawinan”. Semua bawaan itu diserahkan pada orang tua calon gemblak.”
(hal. 56).
Tentu saja “bayaran” yang
diperoleh secara sosial bukan hanya benda-benda pinangan itu, namun juga
kehormatan dan lebih jauh pengetahuan dan “kesaktian” warok yang biasanya
diwarisi kepada si gemblak. Itulah sebabnya, sejarah dan mitologi, seni
beladiri dan keterampilan menabuh jadi pelajaran setiap malam seperti
didapatkan Hargo. Ia mendapatkan cerita tentang sejarah Wengker, Majapahit,
Demak, SI, PKI atau Madiun. Ia pun mengenal tokoh-tokoh Ki Ageng Mirah, Ki
Ageng Kutu, Raden Patah, bahkan Soekarno. Meski prosesi “pinangan” itu kadang
berjalan tidak dalam keadaan “normal”: jika orang tua menolak lamaran warok
akibatnya bisa fatal. Termasuk istri warok yang memiliki nestapanya sendiri:
cemburu, iri dan ingin hidup normal sebagaimana keluarga lain.
Nah, bagaimanakah memaknai “dunia
jungkir-balik” yang tak sesuai dengan kaidah masyarakat luas dan di luar standar
moralitas umum itu? Sesuai hakikat sastra yang kaya interpretasi, dunia yang
dihadirkan bukan untuk dinilai benar-salah atau hitam putihnya. Sejungkir-balik apa pun dunia yang dihadirkan,
itulah realitas (budaya) kita, itulah dunia kita. Dan sastra merupakan medium
paling “ideal” untuk menghadirkan realitas itu, dengan segala keunikan yang tak
bertara, sebab sejatinya ”sastra tidak bicara dengan bahasa langit, melainkan
bahasa bumi.” Akan tetapi, cerita akan menjadi lain jika keunikan budaya dengan
segala nilai-nilai “alternatif”-nya itu hanya disajikan sebatas permukaan,
sebatas eksotisme banal (di ruang manakah interpretasi harus ditempatkan?). Dan
lebih parah lagi jika keunikan itu dieksploitasi. Fenomena terakhir ini
cenderung menguat dalam sastra mutakhir tanah air: “dunia jungkir-balik sastra”
dijadikan medium buat beraneh-aneh, akrobatik bahasa dan berisi serba sensasi.
Nah!
(Raudal
Tanjung Banua, Koordinator Komunitas
Rumahlebah dan Ketua Redaksi Jurnal Cerpen Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar