Materi Workshop Menulis
Tokoh [watak]
Tokoh [watak]
Ketika membaca sebuah cerita pendek, saya bisa merasa demikian larut karena tokoh utamanya begitu imajinatif. Dari sejumlah tokoh yang diceritakan cerpenis dan novelis Yudhi Herwibowo misalkan, saya masih terkenang dengan tokoh perempuan cantik yang bertubuh wangi sehingga kemana-mana dia selalu diikuti [dikerubungi] dengan ribuan kupu-kupu. Coba bayangkan, perempuan cantik dengan rambut panjang dan dikerubuti ribuan kupu-kupu yang berwarna-warni, wow, menajubkan bukan.
Padahal cerita itu telah lama saya baca, sekitar tiga tahun lalu, dan sampai sekarang bila bicara tokoh dalam cerita dia kembali tampil dalam ingatan saya. Bahkan pernah ketika saya membuat tokoh yang aneh, si cebol, secara sadar-tak sadar [terinspirasi] kutulis bahwa si cebol ini beraroma bunga sehingga diikuti oleh ratusan tawon, nah... inilah yang disebut karya melahirkan karya, dan tokoh menarik melahirkan tokoh yang menarik pula.
Padahal cerita itu telah lama saya baca, sekitar tiga tahun lalu, dan sampai sekarang bila bicara tokoh dalam cerita dia kembali tampil dalam ingatan saya. Bahkan pernah ketika saya membuat tokoh yang aneh, si cebol, secara sadar-tak sadar [terinspirasi] kutulis bahwa si cebol ini beraroma bunga sehingga diikuti oleh ratusan tawon, nah... inilah yang disebut karya melahirkan karya, dan tokoh menarik melahirkan tokoh yang menarik pula.
Tokoh tak akan menggigit benak pembaca jika tampil seperti kebanyakan orang, tampak biasa-biasa saja. Bila tokoh tak menarik maka cerita akan membosankan dan ditinggalkan pembaca. Tokoh harus unik, baik dari penampilan, bentuk tubuh, maupun isi pikiran. Cerita Budi Darma misalkan ada tokoh yang tak banyak bergerak namun pikiran-pikirannya selalu berseliweran, selalu berpikir makna hidup, cinta, kematian, dan lain-lain. Atau karya Pramoedya Ananta Toer misalkan ada tokoh berpakaian gembel yang kakinya korengan dan dikerubungi ratusan lalat dalam cerita Perburuan. Atau cerpen Blongkeng karya Ahmad Tohari, tokoh utamanya perempuan sinting yang dihamili entah oleh siapa. Si bunting suka berceloteh sehingga bisa mengarahkan dakwaaan pada siapapun akibatnya setiap lelaki di desa itu menjadi resah dan saling curiga. Cerita karya Iwan Simatupang tokohnya orang gila [dianggap gila] kerjaannya mengecat dinding kuburan, juga tokoh lain yang dianggap gila dari cerpen AS. Laksana yang suka menggambar penis di dinding-dinding tempat umum, terminal, dan lain-lain. Nah semua itu tokoh-tokoh yang unik, bukan, yang sangat berbeda dengan kebanyakan orang karena itulah bisa membuat cerita menjadi menarik.
Atau mari kita tengok, cerita terjemahan berjudul Merlin misalkan, tokohnya anak kecil yang melarikan diri [pelarian] ke hutan dan dia berenang di dalam sungai yang bening dan bermain-main dengan ikan, herannya dia ternyata bisa lama di dalam sungai dan bernapas di dalamnya! Si anak yang memiliki kemampuan ghaib dan istimewa ternyata juga menarik untuk dikisahkan.
Tokoh dalam cerita juga tak melulu manusia. Cerita pendek karya Cecillia Oday yang dimuat Kompas misalkan, tokoh utamanya adalah bunga kamboja. Atau cerita saya sendiri yang dimuat di Suara Karya, tokohnya adalah sepasang burung gereja. Nah, ini masalah sudut pandang. Dan yang terpenting adalah kita memberi roh pada tokoh-tokoh itu, gelagat jiwanya tertampilkan, keinginannya terceritakan, mimpi-mimpi, hasrat, ketakutan, dan lain-lain terwujudkan dengan detil dan tepat. Penokohan harus kuat sehingga cerita tampak meyakinkan. Bila penceritaan tokoh dan wataknya hanya biasa-biasa saja, pembaca juga ragu dan tak terkesan.
Penokohan juga berfungsi untuk memberi dan menyediakan alasan bagi tindakan tertentu tokoh dengan cara menggambarkan watak atau sifat-sifat tokoh cerita. Misalkan, suami yang pemarah akan logis jika dia seketika dengan mudahnya membanting piring dan gelas sewaktu bertengkar dengan istrinya, ketimbang suami yang lembut dan sabar.
Penggambaran gerak tokoh yang baik kerap tak cukup hanya dengan pemakaian indera mata dan telinga. Kita kebanyakan akan menulis gerak tokoh melalui dua indera tersebut. Misalkan: Amir menatap bulan purnama dengan kagum dan telinganya mendengar nyanyian serangga malam dari sebalik semak. Serasa kurang maksimal, bukan. Namun, bila dilengkapi dengan pemakaian indera lain misalkan penciuman dan raba, juga cecap maka penggambaran tokoh terasa lebih nyata di benak pembaca. Contoh sederhananya, Sebatang rokok terselip di bibir Amir, disedotnya dalam-dalam hingga terasa begitu nikmat rasanya, pandangan matanya masih lekat pada rembulan di langit malam yang terang. Aroma bunga melati di halaman menguar menusuk hidungnya. Begitu tentram malam ini, rokok kretek yang nikmat, bau melati yang sedap dan bulan purnama yang indah dan terdengar nyanyian serangga malam dari sudut semak. Walau sesekali nyamuk yang tak bersahabat menggigit kulitnya tanpa permisi dan mengganggu keasyikannya menikmati malam namun rasanya malam ini begitu istimewa hingga membuatnya melupakan sejenak segala masalah yang menyesakkan dada. Malam ini rasanya tak seperti malam-malam kemarin yang membuat hatinya gundah gulana... Kalimat terakhir sebagai contoh lanjutan yang menggambarkan perasaan tokoh supaya cerita makin hidup. Jadi bila pemakaian indera makin lengkap ditambah dengan adanya perasaan, pikiran, keinginan yang terlibat di dalam benak si tokoh maka akan makin membuat penokohan menjadi lebih kuat.
Kita juga perlu detil untuk menghidupkan cerita. Ketimbang menggunakan kata sifat, misalkan: Gadis itu tampangnya jelek tapi baik hati, lebih baik kita memaparkannya dengan detil contohnya Gadis itu hidungnya pesek, mukanya jerawatan, rambutnya seperti ijuk, bibirnya menor, dan matanya melotot. Namun dibalik kekurangannya itu hatinya lembut dan mulia. Sering kulihat ia menolong orang tua yang hendak menyeberang di jalan.
Dalam cerita pendek pelukisan deskripsi lima indera dan pendetilan suasana tak sebebas di novel. Cerita pendek tak sepanjang novel, jadi perlu penempatan mana yang sebaiknya detil dan lengkap, dan mana yang sekiranya secukupnya saja. Detil dan lengkap digunakan untuk membangun cerita makin fokus dan hidup, demi sebuah bangunan cerita itu sendiri, tanpa meluber kemana-mana.
Ketika membaca cerpen kita menemukan tokoh utama: aku, kau, atau nama orang. Itulah yang disebut sudut pandang. Sudut pandang orang pertama biasanya memakai aku sebagai tokoh utama. Hanya segala sesuatu yang dilihat, didengar, dirasakan dan diketahui oleh tokoh aku yang bisa diungkapkan. Dengan menggunakan sudut pandang pertama ini, kita tak bisa melukiskan perasaan dan pikiran tokoh lain. Contoh, Aku melihat nenek berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Mukanya tampak sedih. Ia resah memikirkan bibiku yang ingin menjadi pembantu rumah tangga di Arab. Contoh itu salah, karena si tokoh [aku] tiba-tiba memasuki perasaan orang lain [nenek]. Mestinya: Aku melihat nenek berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Mukanya tampak sedih. “Aku resah memikirkan bibimu yang ingin menjadi pembantu rumah tangga di Arab,” ucap lirih nenek padaku.
Sudut pandang orang kedua biasanya memakai kata ganti orang: kau, kamu, atau anda. Seolah-olah pembaca adalah pelaku dalam cerita atau seperti “pilih sendiri petualanganmu.” Contoh, Kau tahu bagaimana itu semua terjadi. Kau merasa bahwa mestinya tidak ikut campur tangan, kau pikir anak lelakimu itu akan mengamuk jika kau melarangnya melakukan sabung ayam. Tapi ketika polisi menggerebek dan menangkapnya, kau habis-habisan menyalahkan dirimu kenapa kau terlalu memberikan kebebasan padanya.
Sudut pandang orang ketiga, terbatas dan maha tahu. Memakai nama tokoh di dalamnya. Terbatas, penutur cerita melihat semua tindakan tapi tak bisa membaca isi pikiran setiap tokoh. Ia melukiskan segala hal sebatas apa yang ditangkap oleh indera. Gaya ini sering dipakai oleh Ernest Hemingway, seorang peraih nobel sastra. Ia hanya merekam segala tindakan dan kejadian dengan gaya pelaporan seorang wartawan. Dengan cara itu juga ia menggambarkan suasana hati seseorang. Contohnya: Antok menyambung terus rokoknya, sebelum habis ia mengambil batang rokok lain dan disulutnya melalui api rokok itu. Dahinya keluar keringat dingin. Matanya melihat kesana kemari. Tangannya menggaruk rambutnya berkali-kali. Keringat makin membanjiri tubuhnya. Tindakan Antok itu pengarang gunakan untuk menggambarkan suasana hatinya yang tengah resah. Sedangkan sudut maha tahu, anda berlaku seperti tuhan yang mengetahui apa saja yang tampak dan tersembunyi di dalam hati setiap tokoh. Contohnya: Antok menyambung terus rokoknya, sebelum habis ia mengambil batang rokok lain dan disulutnya melalui api rokok itu. Dahinya keluar keringat dingin. Matanya tampak cemas, melihat kesana kemari. Ia garuk-garuk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal. Keringat makin membanjiri tubuhnya. Ia resah menunggu Ningsih, adiknya, yang begitu lama tidak pulang. Pikirnya, apakah adiknya telah diculik? Tapi, semoga saja tidak. Moga saja ia hanya bermain di rumah Fanny atau Bandung, teman sekelasnya. Ini contoh simpel dari sudut pandang maha tahu yang menceritakan apa saja yang tampak dan tersembunyi di dalam hati dan pikiran dari si tokoh Antok, belum tokoh yang lainnya.
Latar [tempat, waktu, suasana]
Tokoh yang menarik akan terasa kurang maksimal jika tak didukung latar yang menarik pula, terutama dari segi tempat, dan suasana. Latar tempat yang menarik bisa dibaca dari karya Yudhi Herwibowo tentang sirkus hantu. Latarnya di bawah tanah, ada gua menganga dengan jalan tali ke bawah, tokoh-tokohnya merambat lewat tali memasuki gua itu, dan di dalamnya ada sirkus dengan segala permainannya yang menarik. Nah tempat yang tak biasa ini menjadi daya tarik tersendiri bagi imajinasi pembaca.
Atau kita tengok cerita dari Sanie B. Kuncoro yang bertema perselingkuhan. Sepasang kekasih di sebuah kapal pesiar dengan pasangan selingkuhnya yang masing-masing juga berada di kapal yang sama. Nah, karena berada di tempat yang sama ketegangan akan terasa, perselingkuhan sangat mungkin terbongkar karena para tokoh melakukannya di dalam kapal yang sama, namun kelihaian para tokoh menyembunyikan perselingkuhannya membuat cerita mengalir enak dan dramatis.
Latar yang menarik bisa kita temukan pula pada cerita pendek Indah Darmastuti tentang orang miskin yang terpinggirkan karena terbangunnya apartemen. Si tokoh sampai tak bisa melihat keindahan bulan dari rumahnya akibat tertutupi oleh bangunan yang tinggi tersebut. Penemuan “fakta/imajinasi” ini bagi saya sangat brillian. Bahkan “fakta/imajinasi” itu terus menancap di benak saya sampai melahirkan cerita pula dari tangan saya. Latar tempat menjadi meyakinkan karena memang terasa masuk akal jika apartemen yang tinggi bisa menutupi posisi bulan yang dilihat dari rumahnya yang dekat dengan apartemen itu.
Latar waktu juga akan mendukung cerita berjalan logis dan menarik. Kita tak akan menemukan cerita yang menakutkan misalkan jika di ceritakan di siang hari dan di tengah keramaian pasar. Akan jauh lebih menakutkan jika latar waktunya malam hari dan di tempat kuburan, rumah kosong, hutan gelap, kamar mayat, dan lain-lain.
Dalam cakupan yang lebih luas, latar dapat menjelaskan sebuah kurun waktu, misalnya zaman perang kemerdekaan atau zaman kerajaan. Latar juga dapat merujuk pada strata kehidupan, misalnya sebuah kisah cerita berlangsung di kalangan konglomerat atau cerita di kalangan orang kere, dan sebagainya. Cerita-cerita jenis populer terutama banyak mengisahkan kehidupan kaum atas atau kaya.
Latar juga menunjuk suasana. Suasana adalah unsur intrinsik yang berkaitan dengan keadaan psikologis yang timbul dengan sendirinya bersamaan dengan jalan cerita. Suatu cerita menjadi menarik karena berlangsung dalam suasana tertentu. Misalnya, suasana gembira, sedih, tegang, penuh semangat, tenang, damai, dan sebagainya. Suasana dalam cerita biasanya dibangun bersama pelukisan tokoh utama. Pembaca mengikuti kejadian demi kejadian yang dialami tokoh utama dan bersama dia pembaca dibawa larut dalam suasana cerita.
Plot [alur]
Plot atau alur harus dibuat sedemikian rupa sehingga pembaca tidak merasa bosan. Plot berfungsi untuk mengikat perhatian pembaca terhadap tujuan dramatik cerita. Melalui kejadian demi kejadian, plot menawarkan kisah dramatik dan perasaan dilema bagi tokoh-tokohnya dan menuntun pembaca ke penyelesaian yang meyakinkan.
Plot yang tak membosankan bisa dibuat dengan suasana yang menarik, menyedihkan, mencekam, atau mengejutkan. Konflik dalam alur cerita harus dibangun agar terjadi proses dramatisasi cerita. Pertengkaran sepasang kekasih di tengah badai hujan yang deras dan akhirnya menewaskan mereka tentu bila dibangun dengan baik akan menjadi cerita yang menarik dan berkesan ketimbang sepasang kekasih yang bertengkar di rumah dan selesai dengan damai. Daya tarik sebuah plot terletak pada besarnya hambatan yang menghalangi tokoh utama mencapai tujuannya. Makin sulit tokoh menggapai harapan, makin dramatik cerita itu.
Alur biasanya dimulai dari perkenalan tokoh, munculnya konflik, konflik memuncak, hingga konflik selesai dan ending [alur maju]. Namun dalam cerpen, kegawatan atau bahkan puncak konflik bisa saja ditaruh di depan [alur mundur/flash back]. Yang terpenting, sebuah cerpen yang baik harus dibuka dengan paragraf pertama yang memikat sejak bahkan dari kalimat pertamanya.
Konflik tidak harus terjadi antartokoh, namun bisa pula dalam diri satu tokoh. Terjadi pertentangan di dalam dirinya sendiri, misalkan untuk berbuat baik dan jahat. Contoh mudahnya: tokoh seorang melarat, suatu saat dia menemukan dompet, akankah dompet itu ia kembalikan atau buat ia miliki sendiri. Atau tokoh seorang pejabat yang diberi amplop, akankah ia ambil sogokan itu atau menolaknya. Disitulah konflik dalam diri muncul. Berbuat baik atau keburukan, bukankah itu sering berkecamuk dalam diri kita.
Dalam plot perlu terbangunnya suspens/ketegangan, berupa letupan-letupan emosi, yang terus menarik pembaca untuk menuntaskan cerita. Namun jangan terlalu terus menerus melancarkan ketegangan dalam cerita, itu bisa membuat pembaca jadi sesak. Gerak cerita harus diatur agar pembaca mendapatkan kenikmatan dalam membaca. Dialog yang cepat, perdebatan sengit, dan eksyen menegangkan akan membuat pembaca menahan napas terus. Irama cerita jadi bertempo cepat, dan itu akan lebih baik jika diperlambat dengan menambahkan deskripsi yang lebih detil atau masuk ke dalam pikiran tokoh. Tapi jika suatu saat kita merasa cerita terasa mengambang dan lamban maka itu perlu dipercepat iramanya.
Sebagai ending kita bisa menggunakan alur tertutup atau terbuka. Alur tertutup jika dalam ending itu sudah ditampilkan jawaban atau jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi tokoh. Sebaliknya, cerita menggunakan alur terbuka jika dalam penyelesaian itu tidak diberikan jawaban atau jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi tokoh. Pembaca disuruh memperkirakan jawabannya. Di samping itu, cerita bisa berakhir secara menyenangkan [happy ending] atau menyedihkan [sad ending]. ***
terima kasih mas, sangat membantu
BalasHapus