Nama-nama dalam buku ini
adalah nama samaran dengan pribadi yang nyata dalam kehidupan. Astrid adalah
siswa penderita autis yang kerap mengamuk sehingga harus diatasi oleh paling
tidak dua guru untuk memegangi tangan dan menenangkan, satu cirinya yang mudah diraba adalah ketertarikannya
pada lawan jenis yang tampak menyolok. Matanya selalu jelalatan bila ada lelaki
muda tampan di dekatnya, dan secara spontan bersikap manja, menggelayut mesra.
Ia masih mengompol di usianya yang 15 tahun, kadang sering ngiler, dan makannya
belepotan. Kedua tangannya susah memegang sendok. Saya sebagai pengajar menulis
di kelasnya kerap mengajarinya memegang bulpoint dengan benar. Untuk
selanjutnya karena tuntutan prosa -menulisnya dalam bentuk fiksi- saya
menambahkan bumbu imajinasi di sejumlah bagian, untuk selanjutnya hal serupa
juga saya lakukan pada pribadi lain, pribadi nyata yang dalam fiksi berubah
menjadi tokoh cerita. Kembali ke
Astrid, beberapa tahun setelah saya keluar –karena alasan pribadi- dari sekolah
itu, saya mendatangi sekolah lagi, bertemu dengan salah seorang guru lama, dan
mendapatkan kenyataan menyedihkan bahwa Astrid telah meninggal di usianya yang
tak lebih dari 18 tahun, perasaan
saya terpukul sedih yang sulit digambarkan dengan kata-kata, yang pasti dalam
dunia cerita saya telah berutang banyak padanya, dia telah memantik ide saya
menulis cerpen Redi Kelud (Kompas, 27 Juni 2010), dia telah
memantik ide saya menulis satu
babak dalam kisah dari bangsal di
buku ini, dan beberapa cerita lain.
Catatan bahwa buku ini salah satunya saya dedikasikan untuknya, adalah usaha
saya untuk terus mengingat bahwa dia pernah ada dalam kehidupan saya, bahwa dia begitu berharga bagi
kehidupan menulis saya, dan bahwa saya
menghormatinya.
Pribadi kedua bernama Maya,
adalah adik dari teman kakak saya yang pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa.
(bersambung... )
Pribadi ketiga bernama Tarmi,
adalah tetangga saya yang pernah menjadi pasien rumah sakit jiwa, seorang
petani yang tekun, suka mengeluh pegal-pegal, kerap ngedumel dan menceracau
jika perasaannya tertekan. (bersambung... )
Bukunya bagus ~ Suka banget cerita tentang si Gila ! Thats a fact ~ when he said "Alasan sebenarnya kenapa pasar tradisional jadi sepi" :D
BalasHapusSukses selalu ya ~
Amin. Terima kasih atas apresiasinya, baca juga cerita bertema orang gila lain: catatan orang gila, novellet kisah dari bangsal... semoga bisa menikmatinya juga....
HapusOya sukses juga selalu buatmu....
Saya jujur, pengaggum berat cerpen GILA Anda yang ada di majalah Horison. Sungguh amat menyenangkan apabila bisa membaca buku prosa terbaru anda, CATATAN ORANG GILA. Saya sangat menyukai cerita tentang orang gila seperti ini, menurut saya, pikiran mereka sulit diselami, sangat menarik. Saya masih 14 tahun, dan salah satu mimpi saya adalah bisa menulis cerpen sebaik Anda. Besok 18 November 2014 ada pelajaran bahasa Indonesia di sekolah saya yang mengharuskan muridnya untuk menceritakan kembali cerpen pilihan kami. Dan tak lain tak bukan, cerpen GILA adalah pilihannya. Salut untuk Anda, terus menciptakan cerpen-cerpen tentang orang gila terus ya... :)
BalasHapusTerima kasih telah menyukai cerpen tersebut, betul pikiran mereka memang sulit dipahami, sulit dimengerti, namun dalam kebeningan dan keheningan kadang pikiran itu memantul seperti embun yang menempel di kaca jendela rumah kita, indah dan menyejukkan... Oh kamu masih 14 tahun, masih muda, namun sudah pandai memilih bacaan bagus, tentu ini modal yang bagus untuk mewujudkan mimpi kamu menulis cerita yang bagus. Dan... terima kasih pula telah memilih cerpen Gila untuk apresiasi cerpen di kelasmu, bagaimana ceritanya.... Terima kasih , tentu saya akan terus menulis cerita yang mengangkat pribadi2 yang mengalami gangguan jiwa, ... jangan lupa beli buku saya yang terbaru ya sudah tersedia di toko2 buku...
BalasHapus